Wednesday, March 12, 2008

ANCAMAN TERHADAP KEUTUHAN (IMAJINATIF) BANGSA














JAKARTA 12 MARET 2008

Ancaman Terhadap Keutuhan (Imajinatif) Bangsa

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Masalah dengan Malaysia mencuat lagi. Walau baru dugaan, kali ini bukan karena klaim Malaysia terhadap berbagai seni budaya yang kita miliki, tetapi adanya warga negara Indonesia (WNI) yang direkrut menjadi Askar Wathaniyah (AW).
Sampai saat ini perdebatan masalah ini masih terjadi antara DPR, pemerintah, maupun pihak Malaysia. DPR menyatakan berdasarkan kunjungan yang dilakukan oleh Komisi I DR ke kawasan Pulau Sebatik, Tawau, dan Tarakan pada Mei dan Juni 2005 dan info dari Pangdam VI Tanjung Pura saat kunjungan kerja akhir tahun 2007 lalu, terdapat 9.000 sampai 13 ribu WNI yang ditarik menjadi milisi AW.
Pemerintah bersikeras tidak ada WNI yang direkrut menjadi anggota paramiliter (Askar Wathaniyah) Malaysia. Sesuai dengan ketentuan, yang dapat direkrut sebagai Askar Wathaniyah adalah warga negara Malaysia dan bukan WNA. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pemerintah Malaysia yang menyatakan tidak ada WNI yang direkrut menjadi AW.
Di luar perdebatan yang masih berlangsung, ada beberapa poin yang dapat kita jadikan perhatian, Pertama, masalah perbatasan dengan negara lain (terutama dengan Malaysia) merupakan masalah krusial yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Ini terbukti dengan timbulnya masalah dari waktu ke waktu, mulai dari pemindahan patok batas negara, pencurian kayu ilegal, pencaplokan Pulau Sipadan Ligitan, persengketaan klaim Ambalat, illegal trafficing, hingga adanya WNI yang rela menjadi AW (jika dugaan itu benar, tidak terlepas dari faktor ekonomi masyarakat perbatasan) sehingga jangan lagi menunggu masalah terjadi baru kita mulai sibuk mengurusnya.
Kedua, jika dugaan benar, bisa jadi langkah Pemerintah Malaysia itu untuk menghadapi kekuatan TNI AD di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim) yang berjumlah tujuh batalyon. Sementara itu, Tentara Darat Malaysia (TDM) di Sabah dan Sarawak menggelar satu divisi (satu divisi terdiri tiga brigade, satu brigade terdiri tiga batalyon, satu batalyon terdiri 700 hingga 1.000 prajurit).
Dari perbandingan itu, TNI AD masih tertinggal dua batalyon dari TDM untuk sepanjang 857 km di perbatasan Pulau Kalimantan. Di sisi lain, penempatan AW di perbatasan Indonesia-Malaysia bisa jadi strategi Malaysia untuk mengadu domba antar-WNI jika pertempuran benar-benar terjadi. Sekaligus membuktikan bahwa nasionalisme kita bisa luntur karena faktor ekonomi.
Ketiga, dugaan adanya WNI yang menjadi relawan AW mengindikasikan bahwa lemahnya perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap kehidupan rakyat terutama masyarakat setempat sehingga mereka harus mencari pekerjaan menjadi tentara asing sekalipun. Faktor ekonomi merupakan alasan dasar untuk menjadi anggota AW.
Ini bertentangan dengan ajakan pemerintah untuk menjaga keutuhan bangsa dan nasionalisme, sementara kehidupan masyarakat di perbatasan tidak diperhatikan. Nasionalisme tidak dapat ditegakkan di tengah-tengah kehidupan sosial dan ekonomi yang terabaikan.
Keempat, selama ini kita cenderung mengutamakan keutuhan teritorial (negara) daripada keutuhan bangsa. Itu pun kita masih harus kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan serta kekayaan alam lainnya. Perbatasan antarnegara merupakan tempat yang rawan terhadap keutuhan dan bergesernya batas-batas sebuah bangsa.
Karena letaknya yang jauh dari pusat kekuasaan, pusat kurang perhatian terhadap daerah. Perbatasan bisa menjadi wilayah sentripetal atau sentrifugal bagi masyarakat sekitar. Semua itu dapat dipengaruhi terutama oleh faktor ekonomi dan sosial budaya.
Kita ambil contoh masyarakat di Pulau Miangas, Provinsi Sulawesi Utara. Jarak pulau tersebut dengan Kecamatan Nanusa (wilayah terdekat Indonesia) 148 mil sedangkan jarak dengan Filipina hanya 48 mil. Ini mengakibatkan perekonomian (termasuk mata uang yang digunakan) penduduk di sana lebih ikut ke Filipina daripada ke Indonesia. Termasuk juga sosial budayanya yang sudah terjadi akulturisasi dan kawin silang dengan orang Filipina. Boleh dikatakan kehidupannya sudah tergantung pada Filipina. Jika harus memilih, apakah mereka masih tetap memilih menjadi orang Indonesia?
Jaga keutuhan
Bangsa adalah konsep yang dinamis. Kehidupan berbangsa adalah kehidupan yang penuh dinamika baik karena pengaruh unsur ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, maupun keamanan. Konsep berbangsa tidak cukup berhenti di sini. Dari waktu ke waktu harus selalu diperbaharui.
Konsep berbangsa pada zaman awal kemerdekaan tentu berbeda dengan era reformasi. Berbangsa pada zaman awal kemerdekaan lebih karena perasaan senasib akan penderitaan oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Pada era reformasi perasaan senasib oleh penderitaan penjajahan sudah tidak kita rasakan lagi. Yang ada keinginan mencapai kesejahteraan bersama berdasarkan prinsip keadilan.
Berbangsa berarti kesepakatan imajinatif semua orang Indonesia untuk hidup bersama berdasarkan asas keadilan dan hukum yang sama. Keadilan itu berlaku bagi semua suku, agama, dan golongan di mana pun mereka tinggal. Tidak peduli di Jakarta sebagai tempat pusat kekuasaan atau tinggal di perbatasan yang jauh dari pusat kekuasaan. Semua harus merasakan keadilan sosial dan ekonomi.
Perbatasan harus mendapat perhatian ekonomi yang lebih karena wilayah ini berisiko terhadap persengketaan dengan negara lain, batas teritorial negara, maupun batas imajinatif bangsa. Boleh jadi masyarakat setempat beridentitas Indonesia, tetapi tata kehidupan ekonomi dan sosialnya sudah menjadi asing.
Siapa yang dapat menghalangi hak ekonomi dan politik seseorang? Itu hak dasar yang dimiliki manusia. Apalagi, di era globalisasi dan keterbukaan seperti saat ini, batas-batas negara hampir tidak ada serta batas-batas imajinatif bangsa mudah bergeser akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang dapat kita lakukan adalah menjadikan orang Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri, mendapatkan perhatian, kesempatan, dan keadilan yang sama. Implementasinya dapat dengan membangun infrastruktur yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi setempat selayaknya daerah-daerah lain.
Ketika perhatian yang sama itu sudah ada maka akan timbul kesadaran berbangsa tanpa harus ada paksaan. Perasaan yang sama sebagai bangsa itulah kehidupan berbangsa yang sejati.
Keutuhan bangsa dan nilai-nilai luhur (karakter) di dalamnya merupakan kekuatan nasional. Kekuatan nasional tidak hanya terletak pada seberapa besar kekuatan militer yang dimiliki, tetapi juga karakter bangsa.
Dengan memiliki karakter yang kuat, sebuah bangsa dapat tegak dan berdiri di atas kaki sendiri serta dapat melaksanakan kelangsungan hidupnya. Tentu kita masih ingin melihat anak cucu kita hidup dalam bingkai Indonesia. Itu akan terwujud jika kita menjadikan mereka merasa bagian dari bangsa Indonesia, bukan tersisihkan dan mencari kehidupan di negara tetangga. Karena kita adalah negara yang besar.
Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008

JAKARTA 12 MARET 2008

Kosovo, Kemerdekaan Telah Tiba

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Ahad lalu, tepatnya 17 Februari 2008, di belahan tenggara Eropa, lebih dari dua juta warga tumpah ruah ke jalan. Sorak-sorai terjadi di mana-mana.
Suara klakson mobil bertalu-talu dan kilatan kembang api menerangi langit, seperti disiarkan berbagai stasiun televisi. Ini menjadi pertanda kemerdekaan sebuah bangsa. Pendek kata, Pristina, ibu kota Kosovo, hari itu meriah dengan ragam perayaan.
Ya, saat itu memang terjadi peristiwa besar bagi penduduk Albania. Mereka menyatakan kemerdekaan Republik Kosovo sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat penuh setelah puluhan tahun terbelenggu oleh kekuasaan Serbia. Sangat wajar kalau hari itu dirayakan dengan gegap gempita.
Kemerdekaan itu pantas mereka dapatkan kendati sebelumnya mereka harus mengorbankan harta dan nyawa demi sebuah kebebasan yang hakiki. Sementara itu, sikap rakyat Kosovo mendapatkan dukungan penuh dari berbagai negara. Bahkan, sepertiga negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Perserikatan Bangsa Bangsa menyatakan bahwa kemerdekaan Republik Kosovo hasil referendum rakyat dan parlemen adalah sah. Namun, sebaliknya kemerdekaan Kosovo mendapatkan tentangan dari Serbia, Cina, dan Rusia.
Lantas bagaimana dengan sikap Indonesia? Saya rasa ada baiknya pemerintah Indonesia perlu mengambil sikap tegas terhadap pernyataan kemerdekaan Kosovo. Sikap itu sangat diperlukan sebagai bentuk pengakuan kemerdekaan suatu bangsa yang selaras dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia, bebas dan aktif.
Sebenanarnya apa yang harus ditunggu pemerintah? Bukankah kemerdekaan Kosovo merupakan kehendak seluruh rakyat Albania yang didukung DPR mereka? Jadi, menurut hemat saya, tidak ada alasan bagi Republik Indonesia untuk tidak mendukung kemerdekaan Republik Kosovo.
Saya sependapat dengan ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Hidayat Nur Wahid, yang menyatakan bahwa kemerdekaan Kosovo merupakan hasil referendum yang demokratis. Dengan demikian, bila Indonesia tidak mau dianggap negara yanag tak konsisten dengan nilai-nilai demokrasi, maka sebaiknya menyatakan dukungannya.
Bagi saya, sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disampaikan dalam jumpa pers di Finladia terhadap keadaan di Kosovo sangat lamban. Semestinya Indonesia harus proaktif, bukan menunggu keadaan.
Hingga saat ini saya belum melihat alasan yang jelas kenapa pemerintah Indonesia belum mengambil sikap. Apakah karena faktor hubungan sejarah antara Indonesia dan Yugoslavia, negeri induk yang memberikan otonomi khusus kepada Kosovo sebelum bubar. Dalam sejarah memang pernah disebutkan bahwa Indonesia-Yugoslavia menjadi salah satu pilar berdirinya organisasi nonblok.
Kedua negara saling memperkuat hubungan karena saat itu terjadi perang dingin antara blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dan blok Timur didukung sepenuhnya oleh Uni Soviet (sebelum cerai berai). Kalau memang hal itu yang menjadi alasan, saya rasa tidak tepat. Ketika Yugoslavia bubar, kemudian muncul negara Serbia yan sangat kejam terhadap penduduk Kosovo. Oleh karena itu, pengadilan internasional menghukum pemimpinnya sebagai penjahat perang.
Dugaan ini kemungkinan salah besar. Tapi, apa pun perkiraan saya tentang lambannya Pemerintah Indonesia mengambil sikap, menurut saya, kurang elok. Bila dilihat dari sisi pergaulan internasional pun, Indonesia bisa jadi dianggap sebagai sebuah negara yang tak cepat mengambil keputusan.
Saya yakin jika pemerintah cepat mengambil keputusan mendukung kemerdekaan Kosovo, seluruh rakyat akan mendukung sikap itu. Mendukung kemerdekaan Kosovo tidak berarti mengekor Amerika Serikat atau negara-negara Barat. Indonesia adalah negara nonblok yang memiliki kebijakan luar negeri bebas dan aktif sehingga negara mana pun tidak bisa mendikte atau memengaruhi sikap politik Indonesia.
Jadi, pemerintah tak perlu khawatir dengan sikap yang diambil akan menuai protes atau kritik dari berbagai elemen masyarakat. Saya, sekali lagi, yakin seratus persen rakyat dan seluruh wakil rakyat yang duduk di legislatif akan berada di balik kebijaksanaan tersebut.
Intinya saya dan beberapa teman di DPR RI mengambil sikap jelas mendukung kemerdekaan Kosovo dengan harapan diikuti sikap pemerintah. Ada beberapa pertimbangan kami mengambil sikap itu.
Pertama, kemerdekaan Kosovo adalah keniscayaan dan hak yang sangat objektif bagi bangsa Kosovo sebagai akibat dari genocida dan pembersihan etnis (ethnic cleansing) yang dilakukan secara sistematis oleh Serbia pada 1990-an. Kedua, berdasarkan amanat pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia antipenjajahan dan penindasan. Maka, segala bentuk penjajahan dan penindasan (genocida dan ethnic cleansing) harus dihapuskan di atas muka bumi.
Ketiga, sebagai negara demokrasi besar yang pernah memimpin Komisi HAM PBB dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia harus berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan dan membela bangsa-bangsa yang tertindas. Keempat, bangsa Kosovo adalah Muslim moderat seperti halnya Indonesia.
Pengakuan terhadap sebuah negara Muslim moderat akan menambah barisan pendukung Islam moderat yang akan memberikan kontribusi besar bagi terjadinya dialog peradaban antara Barat dan Islam. Posisi Kosovo yang berada di jantung Eropa tentunya akan sangat strategis sebagai representasi Islam moderat.
Kami yakin kelahiran negara Kosovo yang Muslim moderat itu akan mendekatkan dunia Barat dan Islam yang selama ini seringkali berhadapan secara vis a vis. Indonesia dan Kosovo akan bisa bergandengan tangan mempromosikan dialog antara Islam dan Barat demi terwujudnya tata dunia baru yang lebih damai dan sejahtera.
Akhirnya, saya mendorong secepatnya pemerintah bersikap bahwa tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak segera memberikan pengakuan politik atas kemerdekaan bangsa Kosovo. Pemerintah tidak perlu ragu untuk mengambil prakarsa internasional memberikan pengakuan terhadap Kosovo.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008

JAKARTA 12 MARET 2008

Kemerdekaan Kosovo dan Dilema Dunia Islam

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Kosovo, sebuah wilayah berpenduduk mayoritas Muslim di jantung Eropa, telah mendeklarasikan kemerdekaan pada hari Ahad (17/2) lalu. Kemerdekaan Kosovo telah melahirkan perbedaan sikap di antara negara-negara dunia antara mengakui, diam, atau tidak mengakui.
Beberapa negara adikuasa, seperti AS, Inggris, dan Jerman telah menyatakan pengakuannya atas kemerdakaan Kosovo. Sementara, Rusia dan Cina menolak mengakui kemerdekaan itu.
Dunia Islam juga begitu. Baru tiga negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang menyatakan pengakuannya atas kemerdekaan Kosovo, yaitu Afganistan, Turki, dan Senegal. Mayoritas negara Muslim, termasuk Indonesia, masih mengambil sikap menunggu dan melihat (wait and see) dalam menyikapi kemerdakaan wilayah yang berpenduduk 90 persen etnis Albania Muslim itu. Meski demikian, tidak ada satu negara Muslim pun yang menyatakan menentang deklarasi kemerdekaan Kosovo atau tegas-tegas tidak mengakui kemerdekaanya.
Dilema dunia Islam
Meskipun Kosovo merupakan wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim dan kemerdekaannya juga tidak terlepas dari perjuangan umat Islam di sana, bagi mayoritas negara-negara Muslim masih menyisakan kondisi dilematis untuk mengakuinya. Setidaknya ada dua alasan di sini.
Pertama, karena deklarasi kemerdekaan Kosovo masih dianggap tindakan unilateral yang tidak didukung PBB, bahkan mengesampingkannya. Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1244 (1999) pada 10 Juni 1999 hanya menempatkan Provinsi Kosovo di bawah pengawasan PBB dengan tugas membentuk pemerintahan sementara untuk Kosovo agar rakyat Kosovo mendapat otonomi khusus dan self-government di Kosovo dalam Republik Federal Yugoslavia, sementara penyelesaian final atas status Kosovo belum ditentukan.
Mulai tahun 2006 status final Kosovo mulai dinegosiasikan antara Serbia dan Kosovo di bawah pimpinan Utusan Khusus Sekjen PBB, Martti Ahtisaari. Tanggal 26 Maret 2007 Ahtisaari melaporkan kepada DK PBB bahwa perundingan mengalami deadlock.
Serbia dan Kosovo bersikukuh pada posisinya. Serbia hanya bisa menerima otonomi luas bagi Provinsi Kosovo, sedangkan Kosovo hanya menginginkan kemerdekaan. Perundingan lanjutan yang difasilitasi Troika Contact Group (Amerika Serikat, Rusia, dan Uni Eropa) juga gagal.
Akhirnya AS dan negara-negara Uni Eropa menyarankan agar status Kosovo diputuskan saja. Namun, gagasan itu ditolak Rusia, Cina, Ghana, Kongo, Panama, dan Afrika Selatan. Mereka menyarankan agar perundingan dilanjutkan.
Belum lagi ada kesepakatan di antara DK PBB dan negara anggota lainnya mengenai status Kosovo, langkah unilateral beberapa negara Eropa terus mendorong Kosovo merdeka. Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Kosovo pun mendeklarasikan kemerdekaanya yang dibacakan oleh PM Kosovo Hashim Thaci tepat hari Ahad 17 Februari 2008 pukul 3 sore waktu setempat.
Alasan kedua, kemerdakaan Kosovo akan melahirkan preseden serupa bagi gerakan separatis dalam menuntut pemisahan diri dari kekuasaan pusat. Itu dikhawatirkan dapat memicu disintegrasi dan instabilitas dalam negeri.
Alasan ini bisa diterima dalam konteks negara-negara Muslim yang mengalami ancaman gerakan separatis di dalam negerinya, seperti Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, Iran dengan wilayah suku Kurdi dan Azerbaijan, Moroko dengan wilayah Sahara Barat. Atau negara-negara yang memiliki kantong-kantong etnis dan ideologis, seperti Pakistan dengan wilayah Pastun di Provinsi NWFP dan negara-negara Teluk Persia yang mempunyai kantong-kantong pengikut syiah.
Di Bahrain populasi syiah mencapai tujuh persen, di Saudi 15 persen, Qatar 15 persen, dan Uni Emirat Arab sekitar 17 persen. Namun, alasan tersebut telah ditepis oleh AS dan para pendukungnya bahwa Kosovo adalah kasus sepesial dan khusus, tidak bisa dijadikan preseden oleh negara dan wilayah mana pun.
Lantas mengapa Turki meskipun mempunyai ancaman separatis suku Kurdi di wilayah bagian tenggaranya menjadi negara pertama Muslim yang memberikan pengakuan? Bahkan, jauh hari sebelum proklamasi kemerdekaan Kosovo?
Turki melihat kasus Kosovo sangat berbeda dengan gerakan separatis Kurdi. Situasi politik global sangat mendukung kemerdekaan Kosovo dan tidak pada wilayah Kurdi.
Selain itu, besarnya populasi bangsa Turki di kawasan Balkan (Yugoslavia) juga menjadi alasan lain. Sementara, bagi Afganistan dan Senegal, merasa nothing to lose dalam mengakui kemerdekaan Kosovo.
Pengakuan de facto OKI
Meskipun negara-negara Islam secara resmi belum memberikan, uniknya OKI telah menyambut hangat kemerdekaan Kosovo. Seperti yang disampaikan Sekjen OKI Prof Ekmeleddin Ihsanoglu dalam pertemuan pejabat senior untuk persiapan KTT OKI di Dakar, Senegal, sehari setelah kemerdekaan Kosovo. Dia mengatakan: ''Kami ikut bergembira dengan kemerdekaan Kosovo. Kami mendeklarasikan solidaritas dan dukungan kepada saudara dan saudari kami di sana. Umat Islam berharap mereka semua sukses dalam pertempuran yang menanti mereka selanjutnya, yaitu perjuangan membangun negara yang kuat dan sejahtera yang memuaskan rakyatnya. Tidak diragukan bahwa kemerdakaan Kosovo merupakan aset dunia Islam dan akan meningkatkan aksi bersama dunia Islam''.
Pernyataan tersebut jelas mencerminkan pengakuan de facto OKI atas kemerdekaan Kosovo. Tidak adanya negara anggota OKI yang menentang atau menolak kemerdekaan Kosovo juga bukti penguat lain atas posisi OKI tersebut.
Selain itu, Kosovo juga secara de facto telah merdeka sejak 10 Juni 1999 karena telah lepas dari kekuasaan Serbia dan berada di bawah pengawasan PBB dengan pemerintahan sementara. Indonesia, demi alasan strategis, boleh saja untuk saat ini tidak memberikan pengakuan secara resmi atas kemerdekaan Kosovo, sambil menunggu perkembangan politik yang berkembang. Itu hak Indonesia sebagai negara berdaulat.
Namun, sebagai anggota OKI, sudah selayaknya, Indonesia mengamini langkah OKI tersebut dan mengikutinya, yaitu memberikan pengakuan de facto atas kemerdekaan Kosovo. Kini Kosovo telah menjadi bagian dari dunia Islam dan Indonesia juga bagian dari dunia itu.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008


JAKARTA 12 MARET 2008

Moratorium, Solusi Kelestarian Ekosistem Jawa

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Awal Februari 2008 banjir kembali melanda Ibu Kota. Kawasan yang menjadi pusat sekaligus jantung pemerintahan RI tersebut kembali dikepung oleh luapan kali yang melewatinya.
Yang lebih memprihatinkan, Bandar Udara Soekarno-Hatta sebagai gerbang pintu masuk menuju Ibu Kota tersebut juga ditutup lantaran landasan pacunya tergenang air sehingga tak laik pakai. Ironisnya, meskipun air telah surut, akses tol dari dan menuju bandara juga diamuk limpasan air hujan yang meluap karena hilangnya berbagai situ ataupun kawasan resapan hutan bakau akibat pengurukan untuk berbagai kepentingan ekonomi bisnis.
Tak ayal, dalam beberapa hari penerbangan domestik maupun internasional mengalami kekacauan. Banyak orang merasa stres, bahkan frustasi. Belum tuntas masalah banjir di Ibu Kota, kota-kota di berbagai belahan wilayah Pulau Jawa pun kembali tergenangi air. Sejalan dengan prediksi BMG di mana alur hujan dan badai bergerak menuju arah timur, tak pelak Kota Solo dan Kabupaten Karangayar di Jawa Tengah serta Kota Ngawi hingga Pasuruan di Jawa Timur harus kembali mengungsikan sejumlah penduduknya yang kembali terkena musibah banjir. Bencana banjir dan tanah longsor yang sempat mengguncang berbagai wilayah di Pulau Jawa pada awal tahun 2008 lalu kembali merebak.
Ironis sekali. Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ekosistem Pulau Jawa. Pulau dengan jumlah penduduk terpadat tersebut memang terus mengalami penurunan kualitas ekosistem. Jumlah penduduk yang demikian besar dengan tingkat kesejahteraan yang disinyalir kian mengalami reduksi dari tahun ke tahun telah menyebabkan tekanan terhadap keberadaan sumber daya hutan semakin meningkat. Akibatnya, perubahan ekosistem Pulau Jawa yang mengarah pada penurunan kualitasnya tak mungkin terhindarkan.
Perubahan status dan fungsi hutan melalui kebijakan konversi hutan dan lahan untuk pemenuhan berbagai kepentingan pembangunan, seperti industri, permukiman, dan pertanian telah menyebabkan alokasi ketersediaan hutan sebagai penyangga ekosistem kian menurun. Belum lagi praktik penebangan hutan yang dilakukan, baik secara legal maupun praktik penebangan liar dan pencurian kayu oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab. Kondisi tersebut diyakini semakin mengurangi bahkan meniadakan fungsi hutan sebagai pengatur keseimbangan konservasi tanah dan air.
Ekosistem Pulau Jawa telah mengalami defisit kawasan hutan. Salah satunya tecermin dari luasan tutupan kawasan hutan yang dari hari ke hari terus mengalami penurunan. Data Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Jawa-Madura tahun 2004 menunjukkan bahwa dari seluruh wilayah Jawa seluas 13.411,2 ribu hektare, kurang lebih hanya 23,4 persen atau seluas 3.136 ribu hektare yang merupakan kawasan hutan.
Kondisi tersebut jelas merupakan sebuah sinyal lampu merah bagi kelangsungan ekosistem Pulau Jawa. Konkretnya, daratan di Jawa telah mengalami defisit tutupan lahan dalam bentuk hutan yang seharusnya minimal mencapai 30 persen dari total luas areal sebagaimana dinyatakan dalam UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Realitas di atas jelas kian memprihatinkan tatkala membedah lebih dalam konfigurasi kawasan hutan yang tersisa di Pulau Jawa. Ternyata dari keseluruhan luas hutan yang ada, persentase hutan lindung dan kawasan konservasi yang notabene berfungsi untuk kepentingan lindung dan konservasi kawasan justru paling kecil, yaitu seluas 750,9 ribu hektare (23,9 persen) untuk hutan lindung dan seluas 454,4 ribu hektare (14,5 persen) untuk kawasan konservasi.
Hutan produksi tetap (HP) seluas 1.558,9 ribu hektare (49,7 persen) dan hutan produksi terbatas (HPT) seluas 371,8 ribu hektare (11,8 persen). Bahkan, penelusuran atas kondisi tutupan lahan terhadap kawasan hutan yang ada di atas ternyata dari seluruh kawasan hutan yang ada di Jawa-Madura tersebut hanya seluas 2.170,4 ribu hektare (69,2 persen) yang kondisi tutupan lahannya masih berhutan. Artinya, bila dibandingkan dengan luas wilayah Jawa-Madura, kawasan hutan yang masih berhutan tersebut hanya 16,2 persen.
Penyimpangan fungsi DAS
Rusaknya ekosistem Jawa jelas merupakan dampak dari resultante berbagai faktor penyebab yang bersifat kompleks. Dari keseluruhan daratan Pulau Jawa seluas 13.404.500 ha, ternyata 2.103.618,39 ha di antaranya berada dalam kondisi sangat kritis, seluas 1.003.566,26 ha kritis, dan agak kritis mencapai 386.365,34 ha. Selain sangat dipengaruhi oleh ketepatan penetapan kebijakan tata guna hutan dan lahan, juga dipengaruhi konsistensi implementasi peruntukan lahan sesuai dengan karakteristiknya dalam bingkai daerah aliran sungai (DAS).
Secara yuridis, pemerintah melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah menetapkan luas penutupan vegetasi dalam suatu DAS minimal 30 persen dengan sebaran yang proporsional. Secara topografis, suatu DAS dibatasi oleh garis tidak teputus yang menghubungkan titik-titik tertinggi dalam suatu wilayah. Karenanya, dapat pula dikatakan sebagai kesatuan bentang lahan yang bercirikan pada jenis kelerengan dan jenis tanah.
Kelerengan berpotensi dalam peningkatan energi kinetik aliran sungai, sedangkan sifat tanah berpotensi dalam keterangkutan aliran air. Atas dasar itu ditetapkan klasifikasi tingkat kekritisan lahan ke dalam lima kelas sebagai rambu-rambu dalam pemanfaatan atau pengelolaan suatu lahan, yang meliputi kelerengan lahan, kepekaan tanah terhadap erosi, dan intensitas hujan.
Dari konsepsi di atas, tampak jelas bahwa implementasi di lapangan masih sangat kedodoran. Banyak kawasan yang secara kategori peraturan perundang-undangan merupakan daerah resapan air sehingga statusnya harus berfungsi sebagai kawasan hutan, justru menjadi kawasan pertanian, seperti di dataran tinggi Dieng (Wonosobo), Kopeng (Solo), dan Tawangmangu (Karanganyar).
Sebaliknya, kawasan-kawasan di daerah berketinggian yang semestinya merupakan kawasan lindung bagi konservasi tanah dan air justru banyak menjadi kawasan hunian. Ironisnya, kawasan hunian tersebut justru sebagian besar adalah milik para pejabat, seperti kawasan Puncak di Bogor.
Terakhir, daerah sepanjang aliran sungai atau bantaran kali yang wajib menjadi sabuk penyangga (baca green belt) dan resapan air, kenyataannya justru menjadi kawasan permukiman kumuh dan padat masyarakat miskin. Karena itu, resultante dari ketiga faktor di atas menjadi salah satu penyebab bencana rutin tahunan. Pada akhirnya menjadi sebuah gugatan atas efektivitas program penanaman hutan atau reboisasi, termasuk melalui gerakan rehabilitasi hutan dan lahan (gerhan) yang telah menghabiskan triliunan rupiah dalam lima tahun terakhir.
Faktor Perhutani
Jawa memang identik dengan berbagai karakteristik yang bersifat khas. Selain kepadatan penduduknya, karakteristik spesifik lain yang menonjol pada aspek kehutanan Pulau Jawa adalah institusi pengelolanya.
Sudah sejak lama pengelolaan hutan Jawa menjadi monopoli kewenangan Perhutani, sebuah BUMN berbentuk perusahaan umum yang diberi mandat untuk mengelola seluruh hutan Jawa. Dengan demikian, Perum Perhutani memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga kelestarian ekosistem lingkungan dan keseimbangan fungsi konservasi tanah dan air melalui pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan.
Tak dapat dipungkiri bahwa kondisi kualitas hutan Jawa di bawah pengelolaan Perum Perhutani terus mengalami penurunan. Banyak pihak terkecoh bahwa Perum Perhutani selalu menyatakan telah mengalami peningkatan kinerja yang tecermin dari meningkatnya laba dan pendapatan.
Padahal, semua itu semu. Peningkatan laba dilakukan dengan mengorbankan kualitas lingkungan, antara lain melalui penurunan daur tebang yang kian pendek disertai dengan marginalisasi masyarakat sekitar hutan. Kegagalan Perum Perhutani dalam menjaga keamanan wilayahnya dari penebangan liar dan pencurian kayu di era reformasi juga telah memberikan andil kian parahnya kerusakan ekosistem hutan dan keterbukaan lahan di seluruh Pulau Jawa. Karena itu, tidak bisa tidak harus dilakukan upaya perubahan orientasi dalam sistem dan praktik kelola hutan Perum Perhutani.
Jelas potret kerusakan ekosistem Jawa membutuhkan sebuah langkah mendasar untuk mengembalikan eksistensi dan fungsinya. Revitalisasi ekosistem Pulau Jawa merupakan sebuah keniscayaan. Salah satu langkah terobosan yang harus berani diambil pemerintah, khususnya jajaran Dewan Direksi Perum Perhutani adalah melakukan perubahan orientasi jangka pendek dan jangka menengah yang semula didominasi kegiatan penebangan hutan menuju kegiatan penanaman.
Kebijakan moratorium penebangan hutan Jawa harus menjadi sebuah pilihan solusi dalam mengembalikan fungsi ekosistem Pulau Jawa. Dalam konteks tersebut, perlu pula dilakukan revitalisasi penugasan Perum Perhutani sebagai BUMN yang sangat terkait erat dengan upaya pelestarian fungsi ekosistem dan lingkungan yang bersifat publik.
Untuk itu, Perum Perhutani tidak boleh lagi dibebani dengan kewajiban perolehan deviden bagi pendapatan negara semata. Namun, harus ditekankan kepada tugas menjaga aspek konservasi dan ekologi untuk keseimbangan lingkungan di Pulau Jawa.
Kegiatan penebangan Perum Perhutani untuk sementara harus dihentikan demi mengembalikan keseimbangan fungsi ekosistem. Konsekuensi lanjutannya, pemerintah tidak boleh memasang target pendapatan kepada manajemen Perum Perhutani.
Sebagai perusahaan, perwujudan aspek ekonomi perusahaan dalam bentuk pendapatan harus diupayakan melalui pengembangan hasil hutan non-kayu dan jasa lingkungan yang tidak merusak hutan dan lingkungan. Sudah saatnya Perum Perhutani mengubah orientasi kelola hutannya melalui kebijakan moratorium penebangan hutan. Semua itu untuk kepentingan jangka panjang seluruh penduduk Pulau Jawa sekaligus keselamatan ekosistemnya. Bila tidak, quo vadis ekosistem Pulau Jawa.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008

JAKARTA 12 MARET 2008

BI dan Runtuhnya Mitos Negara dalam Negara

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Di tengah gegap gempita kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) ke DPR, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengusulkan dua nama calon Gubernur BI untuk menggantikan Burhanuddin Abdulah. Pengamat dan analis umumnya memperkirakan calonnya memiliki kriteria dan figur yang mumpuni untuk seorang gubernur bank sentral.
Diluar dugaan, Presiden telah mengusulkan Dirut Bank Mandiri, Agus Martowardojo dan Wakil Direktur PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Raden Pardede. Kedua nama tersebut tidak pernah dibahas di publik sehingga kemunculannya menimbulkan berbagai spekulasi. Benarkah keduanya merupakan calon pemerintah?
Ataukah sekadar permainan politik?
Jika calon yang diajukan ditolak DPR, sebagaimana ditentukan UU BI, maka Presiden bisa mengajukan calon lain. Tetapi kalau diperhatikan, rasanya jago istana memang hanya Agus Martowardoyo. Persepsi ini bisa dilihat dari banyaknya pihak yang tidak memperhitungkan kans Raden Pardede. Bahkan dia sendiri tidak tahu kalau akan dicalonkan.
Idealnya seorang Gubernur BI adalah figur yang memiliki kapabilitas untuk menjaga stabilitas makroekonomi. Sementara dari sisi pengetahuan, dia harus ahli dalam memahami bagaimana pasar keuangan global bekerja. Ini penting agar bisa selalu mengantisipasi risiko yang berasal dari gejolak global. Bahkan dalam banyak kasus, Gubernur BI harus memiliki keberanian melawan mainstream pemikiran ekonomi saat ini. Artinya berani melepaskan diri dari kapitalis global yang dikendalikan The Fed. Yang tak kalah penting, Gubernur BI harus bisa berkomunikasi dengan pemerintah secara tepat tanpa harus kehilangan sikap independensinya.
Penetapan status tersangka oleh KPK, untuk gubernur yang kini masih menjabat, dipandang banyak pihak bernuansa politis untuk mencegah Burhanuddin memiliki kans lagi memimpin BI. Selain itu, status tersebut juga berarti memutus kemungkinan BI mengusulkan calon dari internal BI dalam bursa calon gubernur.
Penolakan
Berdasarkan analisis media, proses penentuan kedua calon tampak berjalan tertutup. Penentuan calon tidak dilandasi kriteria kelayakan profesional, track record dan kredibilitas yang obyektif dalam bidang moneter dan perbankan, tetapi lebih karena faktor lain. Bahkan terkesan tidak memiliki mekanisme dan kriteria yang jelas mengenai kelayakan menjadi Gubernur BI. Wajar kalau kemudian muncul dugaan-dugaan miring dalam proses penentuan kedua calon tersebut.
Apalagi ta tertutup kemungkinan presiden tak sendiri dalam memilih calon, melainkan melibatkan sejumlah departemen terkait seperti Departemen Keuangan misalnya, ataupun departemen lain. Hal ini seakan menunjukkan pemerintah tidak lagi mempercayai internal bank sentral. Memang, seluruh departemen termasuk Depkeu, adalah bagian dari pemerintah. Tetapi presiden mestinya memiliki kepekaan bahwa mengabaikan dan menomorduakan bank sentral bisa membuat ekonomi pincang.
Semoga saja hal ini tidak berarti BI terus-terusan menjadi ladang percobaan politik baru. Terlalu mahal ongkos yang harus dibayar perekonomian jika pertimbangan untuk kepemimpinan bank sentral lebih didasarkan pada kedekatan pribadi dan politik. Terlebih lagi kalau tujuanya agar bisa di-remote control.
Karena itu wajar pula jika terjadi penolakan yang luas atas kedua calon pilihan istana. Kalangan akademisi, Iman Sugema, menyatakan bahwa pencalonan Gubernur BI hanya dari luar BI sebagai pelecehan dan terkesan dipaksakan. Artinya ada yang tidak pas antara kualifikasi harapan dengan figur yang diajukan. Kapabilitas dan pengalaman kedua calon dinilai belum memadai untuk jabatan tertinggi di bank sentral.
Perlu dipahami bahwa kegagalan bank sentral dalam menghadapi ancaman krisis finansial global bisa menyeret Indonesia ke permasalahan yang serius. Pengelolaan sektor moneter sangat berbeda dengan pengelolaan bank komersial yang lebih mengarah kepada eksplotasi keuntungan secara mikro. Sementara bank sentral, arah kebijakannya bersifat mengelola ekonomi untuk kestabilan dan pertumbuhan jangka panjang. Idealnya, hanya mereka yang memahami dan berpengalaman dalam pengelolaan moneter yang bisa menjadi gubernur bank sentral.
Perkembangan terakhir di DPR, hampir seluruh fraksi kecuali Golkar dan Demokrat yang menolak nama calon yang diajukan. Yang justru mengejutkan adalah sikap Ikatan Pegawai Bank Indonesia (IPEBI) yang tidak menolak calon dari luar BI asal kredibilitasnya baik. Harapannya sederhana saja. Gubernur BI kedepan diharapkan bisa menjamin ketenangan pegawai bekerja profesional. Sikap 'pasrah' ini merupakan proses pembelajaran penting bagi semua pihak. Asal mekanismenya konstitusional, maka wajib ditaati.
Melihat penolakan yang begitu luas atas calon usulan presiden, kredibilitas pilihan ini patut dipertanyakan. Semoga presiden tidak terjebak perangkap kelompok kepentingan yang ingin menarik bank sentral ke dalam situasi baru. Namun yang namanya proses politik, hasil akhir dari semua proses ini masih gelap.
Membongkar mitos
Kemelut pencalonan gubernur BI kali ini di sisi lain telah pula membuka mata kita bahwa mitos BI adalah 'negara dalam negara' sama sekali tidak benar. Proses pengajuan calon yang tertutup, sikap nrimo dan profesional internal BI untuk menerima calon dari luar BI, telah meruntuhkan mitos itu.
Padahal, mitos itu selama ini telah membuat posisi BI dalam hubungan antar institusi negara seolah sebagai 'lawan', baik bagi legislatif maupun eksekutif. Dalam sistem ketatanegaraan kita, pengelolaan ekonomi merupakan wilayah eksekutif. Padahal, siklus politik lima tahunan bisa menjadi dorongan yang kuat bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan politis yang berjangka pendek. Kebijakan populis maka semua orang akan senang dan selanjutnya akan akan mendukung kemenangan rezim sama di pemilu berikutnya. Kebijakan yang populis dan berorientasi pada sekadar 'meninabobokan' seperti 'menggali lubang' sehingga bisa membahayakan keberlanjutan ekonomi.
Perekonomian yang terus berkembang stabil dalam jangka panjang dan terbebas dari siklus lima tahunan, membutuhkan 'rem' untuk kebijakan yang sifatnya populis dan berjangka pendek. Rem itu ada di sektor moneter yang digawangi bank sentral. Inilah yang menjadi dasar perlunya bank sentral yang independen.


Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008

JAKARTA 12 MARET 2008

Keselamatan Alam vs Kepentingan Korporasi

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tertanggal 4 Februari 2008 patut membuat masyarakat terkejut. PP itu melegalkan pertambangan di kawasan hutan lindung. Padahal, Pasal 38 Ayat (4) UU Kehutanan menyebutkan, ''Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka.''
Luas kawasan lindung Indonesia sekitar 55-an juta hektare dan 31 juta hektare di antaranya berstatus sebagai hutan lindung dan selebihnya Kawasan Konservasi. Kawasan-kawasan lindung dan konservasi di Indonesia diketahui banyak menyimpan bahan tambang dan menjadi incaran para pengusaha pertambangan.
Sejak dulu kegiatan pertambangan memang telah dilakukan di wilayah hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan lindung dan konservasi. Ketika reformasi lahir, masyarakat mengharapkan adanya perlindungan yang lebih kokoh atas nasib hutan dan nasib masyarakat secara keseluruhan.
Amanat reformasi di sektor kehutanan kemudian diformalkan dalam UU Kehutanan. Inti dari UU ini adalah penegasan keberpihakan terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat lokal di atas kepentingan ekonomi segelintir orang.
Isu ini hampir tak tersentuh pada UU Kehutanan sebelumnya. Empat tahun lalu kritik mengalir deras saat pemerintah mengesahkan Perpu No 1/2004 tentang Perubahan Atas UU Kehutanan. Perpu itu mengizinkan aktivitas pertambangan di kawasan hutan lindung bagi perusahaan yang memperoleh izin sebelum berlakunya Undang-Undang Kehutanan.
Publik waktu itu sangat berharap kebijakan pemerintah tidak didikte oleh kepentingan korporasi pertambangan. Tempatkanlah keselamatan alam di atas 'kuasa uang'. Harapan agar pemerintah mendahulukan kelestarian hutan dan kehidupan manusia saat ini pun tentu tidak berubah.
Alih fungsi kawasan hutan lindung menjadi areal pertambangan menimbulkan setidaknya dua bahaya. Pertama, fungsi hutan lindung sebagai penyeimbang hidrologis, ekologis, dan penyedia keragaman hayati akan musnah. Padahal, berbagai fungsi tersebut begitu vital dan unik sehingga eksistensinya tak tergantikan.
Jangankan kerusakan pada hutan lindung, kerusakan pada hutan produksi saja telah menghasilkan malapetaka yang amat dahsyat. Beberapa tahun terakhir kebakaran dan kekeringan di wilayah hutan lebih sering terjadi ketika kemarau tiba. Jika musim berganti, ancaman banjir dan tanah longsor sudah menunggu.
Bencana ini diakibatkan oleh hilangnya fungsi daerah resapan air akibat hilangnya hutan yang menjadi lapisan penutup tanah dan menjamurnya belukar akibat penggundulan hutan. Kedua, hingga sekarang hampir tidak ada bukti yang dapat menunjukkan suatu perusahaan pertambangan mampu merehabilitasi lingkungan yang rusak akibat kegiatan pertambangan yang dilakukannya.
Kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan biasanya berbentuk lubang tambang, air asam tambang, dan limbah tailing. Ketiganya sama-sama mengancam kelestarian ekosistem.
Keuntungan ekonomis pun sebenarnya tidak dapat dijadikan pembenaran aktivitas tambang di hutan lindung. Berbagai penelitian membuktikan pendapatan pemerintah dari aktivitas tersebut hanya setengah hingga seperlima dari nilai kerusakan akibat kehilangan kegunaan ekonomis hutan lindung. Bahkan, bisa seperlima belasnya jika nilai ekonomis hutan lindung dihitung dalam keadaan utuh.
Logika industri tidak bisa dijadikan dasar dalam pengelolaan hutan. Logika industri memperlakukan hutan sebagai semata-mata komoditas yang perlu dimaksimalkan nilai gunanya.
Tidak heran logika industri selalu menuntut eksploitasi sumber daya hutan sejauh mungkin agar memberi keuntungan sebesar-besarnya meskipun eksploitasi itu membawa dampak buruk secara ekologis maupun sosial di kemudian hari. Berlawanan dengan logika industri, logika kearifan tradisional memandang hutan bukan semata komoditas, tetapi sebagai entitas kehidupan yang harus dihargai eksistensinya.
Hutan dan manusia adalah dua entitas yang bisa hidup berdampingan dan saling melengkapi, bahkan bersimbiosis secara mutualistik untuk mendukung kehidupan masing-masing. Dengan paradigma seperti ini, mengambil manfaat ekonomi dari hutan bukanlah suatu hal yang terlarang, tetapi mengeksploitasi tanpa memperhatikan kelestarian hutan nyata-nyata akan dinilai sebagai keburukan dan kejahatan.
Selama ini dominasi logika industri dalam pembangunan sektor kehutanan lebih kuat dibandingkan dengan logika kearifan tradisional. Hal ini terjadi akibat proses marjinalisasi masyarakat lokal dari pembangunan kehutanan itu sendiri, padahal merekalah yang paling fasih dan paling mendalam pengetahuannya dalam hal kearifan tradisional. Akibat marjinalisasi itu, hutan dikuasai oleh 'orang luar', mereka yang hampir pasti tidak memahami kearifan tradisional secara utuh dan datang ke hutan hanya dengan satu tujuan, yaitu mengambil keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.
Berbagai argumentasi hukum, ekonomi, dan moral telah dipaparkan banyak kalangan untuk menolak pertambangan di hutan lindung. Semua berharap pemerintah tetap menunjukkan komitmen dan konsistensinya untuk melindungi kepentingan masyarakat, bukan kepentingan segelintir orang atau korporasi.


Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008

JAKARTA 12 MARET 2008

Tambang di Hutan Lindung

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Publik kembali dibuat terheran-heran saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono awal bulan Februari menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 sebagai tindak lanjut Keppres Nomor 41 Tahun 2004 yang dikeluarkan Megawati selaku Presiden saat itu. PP Nomor 2/2008 ini mengatur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan imbalan kompensasi.
Tidak tanggung-tanggung, hutan yang memiliki fungsi ekonomi dan ekologis yang begitu luar biasa dibanderol dengan angka kompensasi Rp 1,2 juta hingga Rp 3 juta per hektare per tahun. Artinya, satu meter luasan hutan lindung nilainya tidak lebih dari Rp 300 meski pemerintah kemudian juga menjelaskan bahwa masih ada pemasukan ke kas negara yang lebih besar di luar poin kompensasi tersebut.
Menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimaksud hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Untuk mempertahankan kelestarian kawasan hutan, sampai awal tahun 1999 telah ditetapkan 383 lokasi kawasan konservasi dengan luas 22,3 juta hektare.
Dalam UU No 41 Tahun 1999 diatur pula larangan untuk melakukan penambangan di areal hutan lindung. Namun, pemerintah kemudian mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2004 yang menerobos larangan itu dan membolehkan penambangan di areal hutan lindung.
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tersebut akhirnya disahkan menjadi UU No 19 Tahun 2004. Keluarnya UU No 19 Tahun 2004 tersebut menyebabkan kalangan aktivis pecinta lingkungan hidup mengajukan hak uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusan Judicial Review terhadap UU No 19 Tahun 2004 menolak gugatan ini dan UU No 19 Tahun 2004 tetap berlaku serta hanya menetapkan enam perusahaan pertambangan dari 13 perusahaan yang dilarang menambang secara terbuka.
Dampak pertambangan
Hutan lindung Indonesia saat ini telah diserbu habis-habisan oleh perusahaan pertambangan yang secara langsung akan mengancam keanekaragaman hayati, daerah resapan air, dan sumber-sumber kehidupan masyarakat. Banjir dan tanah longsor akibat kerusakan hutan telah mengorbankan ratusan nyawa dan merugikan negara dan rakyat sebesar triliunan rupiah, sementara limbah pertambangan yang beracun dan berbahaya akan menetap selamanya dan menjadi ancaman bagi generasi yang akan datang. Sejauh ini belum ada fakta yang membuktikan bahwa lahan eks tambang telah dihutankan kembali.
Paradigma pertumbuhan ekonomi yang dijadikan acuan pemerintah memandang segala kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia sebagai modal untuk menambah pendapatan negara. Sayangnya, ini dilakukan secara eksploitatif dan dalam skala yang massif. Sampai saat ini tidak kurang dari 35 persen wilayah daratan Indonesia sudah dialokasikan untuk operasi pertambangan yang meliputi pertambangan mineral, batubara, maupun pertambangan galian C.
Dalam praktiknya, pertambangan di Indonesia menimbulkan berbagai dampak negatif. Pertama, pertambangan menciptakan bencana lingkungan. Sebagian besar operasi pertambangan dilakukan secara terbuka (open pit) di mana ketika suatu wilayah sudah dibuka untuk pertambangan, maka kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut tidak dapat dipulihkan kembali (irreversible damage). Hampir semua operasi pertambangan melakukan pembuangan limbah secara langsung ke sungai, lembah, dan laut.
Kedua, pertambangan kurang meningkatkan community development. Operasi perusahaan pertambangan belum sepenuhnya melibatkan masyarakat sekitar hutan. Perusahaan pertambangan sebagian besar tenaga kerjanya didatangkan dari luar masyarakat sekitar hutan. Ini yang akan memicu konflik sosial.
Ketiga, pertambangan merusak sumber-sumber kehidupan masyarakat. Wilayah operasi pertambangan yang seringkali tumpang tindih dengan wilayah hutan serta wilayah hidup masyarakat adat dan lokal telah menimbulkan konflik atas hak kelola dan hak kuasa masyarakat setempat. Kelompok masyarakat harus terusir dan kehilangan sumber-sumber kehidupannya, baik akibat tanah yang dirampas maupun akibat tercemar dan rusaknya lingkungan akibat limbah operasi pertambangan.
Keempat, pertambangan memicu terjadinya pelanggaran HAM. Pada banyak operasi pertambangan di Indonesia, aparat keamanan dan militer seringkali menjadi pendukung pengamanan operasi pertambangan. Ketika perusahaan pertambangan pertama kali datang ke suatu lokasi, kerap terjadi pengusiran-pengusiran dan kekerasan terhadap warga masyarakat setempat.
Nilai kerugian
Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Aturan Kompensasi Materiil Terhadap Penggunaan Kawasan Hutan Lindung jangan sampai terulang lagi. Negeri ini sudah punya kenangan negatif saat keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No 41 Tahun 1999 dan selanjutnya disahkan menjadi UU No 19 Tahun 2004 yang mengatur pemberian izin kepada 13 perusahaan di areal hutan lindung.
Keputusan-keputusan tersebut akan semakin menguras sumber daya alam di areal hutan lindung meskipun alasan dikeluarkannya aturan tersebut sebagai bentuk jaminan kepastian investasi dan agar ada pemasukan kas negara akibat masih berlakunya 13 perusahaan tambang usai muncul UU No 19 Tahun 2004.
Konsesi hutan seluas 925 ribu ha untuk operasi 13 perusahaan tambang tentu akan menimbulkan efek malapraktik yang merupakan proses divestasi modal ekologi. Dari perhitungan Greenomics Indonesia, akibat proses divestasi fungsi ekologis itu, negara mengalami kerugian Rp 70 triliun per tahun, dilihat dari total penurunan produk domestik regional bruto (PDRB) dan pendapatan asli daerah (PAD) di 25 kabupaten/kota.
Adapun bila melihat pada hilangnya nilai jasa ekosistem hutan, keanekaragaman hayati, biaya lingkungan di sektor hulu, dan pemanfaatan hutan lindung secara berkelanjutan oleh masyarakat, kerugian yang ditanggung per tahun tidak kurang dari Rp 46,4 triliun. Perhitungan itu belum termasuk nilai kayu yang harus disingkirkan pada praktik tambang terbuka yang bernilai Rp 27,5 triliun.
Ke depan upaya yang bisa diterapkan dalam menyelamatkan kondisi hutan lindung Indonesia yang sudah sangat kritis. Ada beberapa cara untuk melakukannya. Pertama, berdasarkan ketentuan dalam UU No 41/1999 serta kondisi sumber daya hutan dan daya dukung lingkungan yang telah rusak saat ini maka pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung selayaknya tidak dilakukan. Kedua, dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan alih fungsi kawasan hutan, hendaknya pemerintah menetapkan instrumen pengambilan keputusan yang terbuka bagi publik.
Mekanisme pengambilan keputusan juga harus dilakukan bersama tim ahli dan tim independen. Ketiga, penetapan dan upaya mempertahankan kawasan hutan lindung harus dibuktikan Pemerintah Indonesia melalui regulasi yang mendukung lingkungan. Keempat, mengajak kepada semua pihak, baik individu, kelompok, maupun lembaga untuk bekerja sama mempertahankan keberadaan kawasan hutan terutama kawasan hutan lindung di Indonesia.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008



Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008