Thursday, March 13, 2008

Predikat Negara Berkembang Menengah












JAKARTA 13 MARET 2008

Predikat Negara Berkembang Menengah

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Cukuplah Basse, Bahir, Dikri, dan Fadlih. Janganlah lagi ada nama-nama lain yang meninggal akibat kelaparan di negeri kita. Dalam kasus-kasus itu, kita melihat ada pengabaian luar biasa terhadap kelompok masyarakat miskin. Basse, misalnya, adalah perempuan hamil di Makassar yang sepintas saja tampak kekurangan gizi. Anaknya, Bahir, pun tinggal tulang berbalut kulit. Bagaimana mungkin kondisi mereka yang ''luar biasa'' itu bisa lolos dari pantauan lembaga-lembaga seperti posyandu, dinas kesehatan, puskesmas, atau pemerintah?

Bahwa suami Basse adalah pemabuk, bukanlah alasan yang memadai untuk berkelit. Faktanya, penghasilan sebagai tukang becak memang tak pernah mencukupi. Demikian halnya dalam kasus kematian Dikri, bocah asal Tasikmalaya, dan Fadlih, bayi di Bekasi. Sebagai bagian dari masyarakat miskin, mereka baru ''terpaksa'' masuk rumah sakit saat maut sudah benar-benar siap menjemput. Sungguh nyata bahwa pembiaran atas kelaparan telah terjadi dan berakibat pada kematian mereka.

Mereka tak sempat bertanya siapa yang harus bertanggung jawab. Mereka bahkan tak paham pemilahan tugas pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengayomi rakyat. Mereka akan bingung mendengar pusat dan daerah saling tuding atas kekurangan gizi yang muncul di mana-mana.

Pendapatan per kapita masyarakat kita, kata Wakil Presiden, telah mencapai 2.000 dolar AS. Indonesia bukan lagi negara miskin, melainkan masuk kategori berkembang menengah. Pada situasi demikian, pidato seperti itu sangatlah tidak berempati. Apa makna angka tersebut bagi bayi-bayi yang kekurangan gizi? Apa arti predikat negara berkembang menengah bagi rasa lapar mereka?

Negeri tetangga, Malaysia, baru saja mendapatkan pelajaran tentang situasi seperti itu. Lonjakan pendapatan per kapita ternyata gagal memberikan makna bagi warga miskin. Mereka tetap terjepit dan tak mampu mengikuti kenaikan harga-harga. Maka, mereka berontak, di jalan-jalan raya maupun lewat kotak suara. Lalu, lepaslah kejayaan rezim Barisan Nasional untuk menguasai dua pertiga parlemen.

Situasi kita bisa jadi lebih buruk. Harga-harga kebutuhan pokok melambung sangat cepat melampaui pergerakan pendapatan. Angka inflasi pada dua bulan pertama tahun ini nyaris sepertiga ''jatah'' 12 bulan pada tahun ini. Beras, minyak tanah, minyak goreng, daging, terigu, listrik, bahkan tahu dan tempe kian tak terjangkau. Masyarakat yang sekarang berpredikat ''tidak miskin'' itu faktanya justru kian merasa sulit memenuhi kebutuhan hidup.

Predikat negeri 2.000 dolar per kapita mirip dengan hiburan tentang kriteria kemiskinan. Kita enggan memakai cara Bank Dunia yang menggunakan penghasilan di bawah dua dolar AS per hari sebagai definisi kemiskinan, karena menghasilkan angka kemiskinan 49,5 persen. Kita menggunakan kriteria lain dari BPS yang menghasilkan angka kemiskinan hanya 16,5 persen. Angka yang menghibur, memang. Namun, sama sekali tak mengubah situasi sesungguhnya; termasuk jatuhnya korban-korban kelaparan.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008



Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008