Wednesday, March 12, 2008

MEMILIH GUBERNUR BI
















JAKARTA 12 MARET 2008

Memilih Gubernur BI

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT
-Komisi XI DPR-RI tengah melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap dua calon Gubernur BI yaitu, Agus Martowardoyo dan Raden Pardede, dilaksanakan pada 10-11 Maret 2008. Uji kepatutan dan kelayakan memilih Gubernur Bank Indonesia ini mencakup dua hal penting, yaitu dimensi kepemimpinan yang terkait dengan integritas sang calon dan dimensi kompetensi yang menyangkut kemampuan dan pengetahuannya.

Kedua dimensi tersebut penting untuk dipertimbangkan mengingat bahwa Gubernur BI akan memimpin sebuah lembaga negara yang independen dan menjadi juru bicara Indonesia di bidang moneter. Dalam berbagai literatur mengenai kepemimpinan, kita mengenal enam tipe kepemimpinan, yaitu visionary leadership (kepemimpian dengan visi), coaching (pembinaan), affiliate (kebersamaan), democratic (demokrasi), pacesetting (memacu kemajuan), dan commanding (otoriter).

Tipe visionary berpandangan jauh ke depan dan membawa organisasi mencapai visi tersebut. Tipe ini dibutuhkan untuk melakukan perubahan dan mengatasi ketidakpastian. Coaching mengutamakan hubungan pribadi untuk mencapai tujuan organisasi. Tipe ini dibutuhkan untuk mempertahankan kemapanan.

Tipe afiliasi lebih mengutamakan kerja sama dan harmoni dalam mencapai tujuan organisasi. Tipe ini dibutuhkan untuk memotivasi tim yang dalam keadaan krisis.

Tipe demokratik mencari konsensus dalam memecahkan permasalahan dan dalam mengambil setiap keputusan. Pacesetting memotivasi organisasi untuk mencapai kemajuan. Tipe ini dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan dan mencapai tujuan yang besar. Sementara, tipe commanding lebih dibutuhkan untuk mengatasi kemelut intenal.

Tipe kepemimpinan yang manakah yang cocok untuk memimpin BI saat ini? Kita mengatahui bahwa kondisi BI saat ini dari sisi kinerja adalah sangat baik. Namun, dari sisi internal, organisasi tengah mengalami goncangan karena beberapa mantan pimpinan dan pimpinannya sekarang sedang terganggu.

Dari sisi eksternal, kondisi keuangan internasional saat ini juga sedang tidak bersahabat sebagai imbas dari krisis kredit perumahan di AS. Kita belum mengetahui kapan kondisi ini akan berakhir.

Untuk mengatasi kedua persoalan tersebut dibutuhkan kepemimpinan yang dapat melekatkan kerja sama individu di dalam organisasi untuk mengatasi permasalahan eksternal secara bersama-sama. Selain kepemimpinan, seorang calon Gubernur BI juga harus memiliki karakter yang baik dan kuat dalam menjalankan tugasnya.

Beberapa karakter yang dibutuhkan untuk kepemimpinan di BI adalah sifat kehati-hatian atau prudent, konservatif, tenang, tidak reaktif, bersahabat, bersih, jujur, dan decisive dalam pengambilan keputusan. Di samping itu seorang calon juga harus memiliki komitmen dan keterikatan dengan ideologi bangsa, komitmen kepada negara dan rakyat, serta kepada institusinya sendiri.

Kompetensi dan pengetahuan
Dari sisi kompetensi dan pengetahuan, seorang calon Gubernur BI harus memiliki pengetahuan di bidang moneter dan keuangan internasional, pengetahuan dalam bidang kebijakan moneter dan permasalahan moneter, serta mampu membaca gerak dan arah dari pasar keuangan baik domestik maupun global. Kompetensi dan pengetahuan di bidang moneter dari sang calon diharapkan akan dapat menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan moneter yang kredibel, konsisten, dan terarah sehingga pasar dapat bekerja dengan tenang dan baik.

Selain itu, pengetahuan moneter yang baik akan dapat membimbing pengambil keputusan dalam mempertimbangkan untuk melakukan intervensi pasar. Dia dapat mengetahui dan merasakan kapan melakukan intervensi dan kapan tidak. Pengetahun yang baik dapat memberi tahu timing yang tepat untuk mengambil kebijakan.

Selain pengetahuan di bidang moneter yang menjadi core competency-nya, seorang calon Gubernur BI juga harus memiliki pengetahuan mengenai institusinya. Sejarah dan budaya organisasi di BI harus betul-betul dipahami oleh sang calon. Hal ini penting karena di sana dan dengannyalah dia akan bekerja.

Kekurangpahaman sang calon terhadap kondisi internal BI dapat menyebabkan ia tergelincir, bahkan terperosok dalam mengendalikan organisasi maupun dalam pengambilan keputusan organisasi. Yang perlu dipahami betul bahwa BI merupakan lembaga negara, organisasi yang besar, serta satu-satunya otoritas moneter di negeri ini sehingga pengetahuan dan kemampuan di bidang moneter saja tidaklah cukup untuk menjadi pemimpin Gubernur Bank Indonesia.

Tiga opsi
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang tentang Bank Indonesia, DPR akan memilih calon Gubernur BI yang diajukan oleh Presiden. Komisi XI DPR-RI akan melakukan pengambilan keputusan tentang penentuan Gubernur Bank Indonesia pada Rabu (12/3). Terdapat tiga pilihan atau opsi yang dapat diambil oleh Anggota Komisi XI, yaitu 1) memilih calon A, 2) memilih calon B, 3) tidak memilih keduanya.

Jika yang terpilih calon A maka calon A akan ditetapkan menjadi Gubernur BI. Sebaliknya jika yang terpilih adalah calon B, maka B yang akan ditetapkan menjadi Gubernur BI. Sementara itu, jika yang terpilih adalah opsi ketiga, yaitu tidak memilih keduanya maka Presiden harus mengajukan lagi calon ke DPR untuk diproses dan dipilih sebagaimana diatur dalam Pasal 41 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang tentang Bank Indonesia. Pasal (3): Dalam hal calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disetujui oleh DPR, Presiden wajib mengajukan calon baru.

Pasal (4): Dalam hal calon yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk kedua kalinya tidak disetujui oleh DPR, Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang sama, atau dengan persetujuan DPR mengangkat Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi di dalam struktur jabatan Dewan Gubernur dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6).

Dari ketiga opsi tersebut maka probabilitas terpilihnya setiap opsi adalah masing-masing 1/3 sepertiga (if I know Nothing Anything is equally likely). Namun, mencermati dinamika yang terjadi di Komisi XI probabilitas opsi tersebut bisa saja berubah pada saat-saat akhir setelah keduanya memaparkan pandangan mereka atau visi-misinya di Komisi XI.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008

JAKARTA 12 MARET 2008

Obesitas Keuntungan Perbankan

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Pada 2007 alunan merdu didendangkan kinerja perbankan kita. Bagaimana tidak, laba bank tumbuh 23,6 persen, bank umum mencetak laba bersih Rp 35,015 triliun. Angka ini pun setelah dipangkas oleh pajak.

Perolehan ini sungguh sangat menyejukkan mata bila disandingkan dengan perolehan laba tahun 2006 yang hanya mengantongi Rp 28,3 triliun. Total aset pun berhasil dikerek lebih tinggi. Pada 2006 sebesar Rp 1.693,85 triliun, lalu pada 2007 total aset lebih membara lagi, mencapai Rp 1.986,5 triliun.

Bila melacak peran perbankan dalam mengucurkan kredit juga terjadi lonjakan. Pada 2006 kran kredit yang dialirkan sebesar Rp 792,29 triliun dan pada 2007 dibuka lebih deras lagi, Rp 1.002,01 triliun.

Gelontoran kredit yang melonjak seolah sebagai jawaban atas imbauan pemerintah kepada bank-bank untuk lebih dermawan mengucurkan kredit. Tentu menjadi pertanyaan, ke manakah derasnya arus kredit mengalir?

Keberpihakan bank
Keberpihakan bank lewat kredit adalah sebagai sebuah darah segar, tetapi yang sering tersaji ketimpangan kucuran kredit. Persentase kredit perbankan untuk perindustrian menghadirkan disparitas yang sangat tajam, yakni mencapai 23,28 persen, sementara untuk pertanian dan perikanan hanya 5,39 persen.

Demikian juga dengan penyebaran kredit yang menunjukkan perbedaan yang cukup mencolok, di mana Rp 382,87 triliun disebar di Provinsi DKI yang merupakan 49 persen dari total kredit perbankan nasional. Padahal, pertumbuhan sektor pertaniannya hanya 0,69 persen (BPS 2000). Sisanya, sebanyak 51 persen disebar di 32 provinsi, di mana di daerah ini sektor pertanian lebih banyak mendominasi.

Begitu juga kalau ditinjau dari penerima kredit, tampaknya kredit perbankan begitu royal terhadap properti mewah, seperti apartemen. Untuk yang disebut terakhir ini, kredit yang dikucurkan mencapai Rp 33.069 miliar. Bandingkan dengan agrobisnis yang hanya menerima kucuran kredit sebesar Rp 11.329 miliar.

Tentu saja hal ini tidak mengalunkan kecemasan seandainya sektor industri dihuni lebih sesak dari pada sektor pertanian. Tetapi, kenyataan sektor pertanian lebih riuh tenaga kerja. Pada 2006 ada 42,32 juta yang berteduh di sektor pertanian, meningkat lagi pada 2007, mencapai 42,61 juta jiwa.

Sementara itu, serapan tenaga kerja pada sektor industri pada 2007 hanya 12,09 juta jiwa, lebih tinggi dari tahun sebelumnya yang hanya 11,58 juta jiwa. Maka, dengan bahasa sederhana, ketika kucuran kredit lebih digelontorkan pada sektor pertanian, tentu dapat bermanfaat lebih banyak. Laju pertumbuhan pertanian tentu dapat didorong lebih kencang.

Rasio yang diperankan perbankan sedikit sekali pada sektor pertanian. Pada awal musim tanam kekurangan modal sering menjadi pil pahit yang harus ditelan petani. Di sinilah seolah dosa perbankan, permohonan kredit yang berbelit dan berliku membuat petani harus bersimpuh di kaki para pengijon, tengkulak, bahkan rentenir.

Karena itu, diperlukan akses yang lebih besar untuk pembiayaan bagi petani lewat perbankan. Pihak perbankan diharapkan mempunyai skenario baru yang lebih fokus terhadap sektor pertanian.

Menganak tirikan pertanian yang sering diperankan perbankan selama ini dikarenan sektor ini dianggap mempunyai risiko kegagalan yang sangat tinggi walaupun alasan ini akan mentah bila kita mau melongok Thailand. Begitu mesranya hubungan perbankkan dan pertanian di Negara Gajah Putih itu.

Negara tersebut menyadari bahwa pertanian dapat dijadikan sebuah jalan untuk menuju kemakmuran. Berbagai elemen membahu untuk mewujudkan sekaligus meruntuhkan sekat yang menghalangi kemajuan di sektor pertanian.

Petinggi yang berkuasa di Thailand menyadari bahwa transformasi ekonomi yang benar ialah dengan memperkuat fondasi yang memang mereka yakin bisa bersaing dalam hal tersebut. Dengan kemajuan pertanian yang telah dicapai, maka sedikit demi sedikit masalah krisis ekonomi yang melanda negara tersebut dapat teratasi.

Bahkan, sekarang Thailand menjadi salah satu negara agraris yang hasil pertaniannya dapat memenuhi kebutuhan dinegara ASEAN. Tak hanya mencukupi, tetapi dapat membanjiri pasar-pasar buah di Tanah Air.

Petani Thailand boleh dibilang tidak punya persoalan dengan bibit unggul baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Departemen Pertanian dan juga pengusaha berada di garda paling depan untuk menyediakan bibit yang dibutuhkan para petani.

Penelitian untuk mencari varitas unggul telah menjadi keharusan di Thailand. Petani juga tidak harus menunggu dan melalui alur yang rumit untuk mengajukan kredit sebagai tambahan modal. Thailand memiliki Bank for Agriculture and Agricultural Cooperatives (BACC) yang memang khusus menjadi lembaga keuangan untuk sektor pertanian.

Entahlah kemesraan antara perbankan dan pertanian di negara ini kapan akan dihadirkan. Gendutnya perolehan laba dan royalnya kucuran kredit dari perbankan tampaknya belum mampu menghangatkan ruang sektor pertanian dan kubangan kemiskinan pun masih cukup dalam karena 23,61 juta jumlah penduduk miskin dari total 37,17 juta orang itu berada di daerah perdesaan. Umumnya terlibat atau berhubungan dengan sektor pertanian.

Bahkan, 72 persen kelompok petani miskin adalah dari bidang pertanian pangan. Maka sulitnya permodalan bagi petani masih subur diperankan oleh para tengkulak dan rentenir dan belum dapat disandarkan pada perbankan nasional. Gemerlapnya kondisi perbankan tahun kemarin dengan lebatnya perolehan laba, moncernya kucuran kredit serta mengelembungnya total aset hanya akan menjadi figura indah dalam potret kesedihan bangsa.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008


JAKARTA 12 MARET 2008


Mengurai Kelangkaan Pupuk

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Pemerintah dikabarkan akan memperketat distribusi pupuk bersubsidi menyusul maraknya penyalahgunaan pupuk bersubsidi dan masih terjadinya kelangkaan pupuk. Ke depan penjualan pupuk tidak lagi dilakukan secara bebas kepada siapa pun, tetapi dikontrol dengan ketat.

Kelangkaan pupuk memang masih sering terjadi di sejumlah daerah. Memang tepat bila pemerintah mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu untuk mengamankan pasokan dan mencegah penyalahgunaan pupuk bersubsidi.

Ketika berdialog dengan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, misalnya, para petani di Jember menyampaikan keluhannya terkait dengan sering menghilangnya pupuk saat musim tanam . Namun, tidak tepat jika setiap terjadi kelangkaan pupuk, pihak produsen (PT Pupuk Sriwidjaja/Pusri dan anggota holding-nya) selalu menjadi pihak yang dipersalahkan. Kalau kita bersikap adil, banyak unsur yang terlibat dalam penyediaan pupuk bersubsidi ini, mulai dari regulator, produsen, distributor, pengecer, dan petani.

Berdasarkan kajian yang kami lakukan, terdapat beberapa rangkaian situasi yang menyebabkan kasus kelangkaan pupuk ini masih terjadi. Pertama, sebagai institusi yang berwenang menentukan besarnya kebutuhan pupuk bersubsidi, Departemen Pertanian (Deptan) menghitung kebutuhan pupuk bagi setiap daerah berdasarkan luas lahan dan pemakaian pupuk normal setiap hektarenya.

Persoalannya, basis data yang digunakan dalam menentukan luas lahan ini masih simpang-siur, baik antara Deptan dan BPS. Selain itu, perhitungan yang ditentukan Deptan biasanya berbeda dengan kebiasaan para petani.

Petani kita sering kelebihan dosis dalam penggunaan urea pada pola tanamnya. Implikasinya, kebutuhan pupuk bersubsidi oleh petani bisa jauh di atas alokasi yang ditentukan pemerintah.

Lalu, siapa dipersalahkan dalam situasi ini? Deptan sudah benar dalam menentukan kebutuhan pupuk bersubsidi, tetapi basis data harus lebih diperkuat. Petani karena sudah terlalu lama tidak memperoleh penyuluhan, juga tidak bisa disalahkan jika kebiasaan tanamnya seperti saat ini. Oleh karenanya, seluruh instansi pertanian (pusat dan daerah) agar lebih aktif menyosialisasi penggunaan pupuk yang tepat ini.

Kedua, selama ini instansi yang berwenang menentukan tata niaga pupuk adalah Departemen Perdagangan (Depdag). Depdag mengatur wilayah penyaluran atau rayonisasi pemasaran pupuk bersubsidi. Tujuannya menjaga kepastian harga, kebutuhan, serta wilayah pemasaran pupuk bersubsidi.

Regulasi ini diharapkan bisa memberikan jaminan kepada petani (berupa harga dan pasokan) maupun produsen pupuk (berupa kepastian wilayah pemasaran yang menjadi tanggung jawabnya). Di satu sisi, rayonisasi pemasaran pupuk bersubsidi ini memang penting untuk menjamin kepastian, baik bagi petani maupun produsen. Namun, sistem rayonisasi ini juga bisa menimbulkan problem lain.

Sistem rayonisasi ini akhirnya mengambil alih peran Pusri sebagai holding yang membawahi Petrokimia, Pupuk Kalimantan Timur (PKT), Pupuk Kujang, dan Pupuk Iskandar Muda (PIM). Jika distribusi pupuk ini dikembalikan melalui mekanisme holding, akan menciptakan fleksibilitas dalam penentuan wilayah pemasaran pupuk bersubsidi. Dengan demikian, holding dapat dengan mudah mengakomodasi berbagai aspek baik yang menyangkut aspek ekonomi maupun komersial.

Sistem rayonisasi juga telah menciptakan jalur birokrasi yang rumit dan berpotensi berat sebelah. Contohnya, satu produsen pupuk yang memiliki kewajiban mengalokasikan pupuk bersubsidi dalam jumlah besar, sementara produsen lainnya kecil. Sebagai BUMN yang dituntut laba, ketimpangan ini memberatkan produsen pupuk yang memiliki kewajiban pemasaran pupuk bersubsidi dalam jumlah besar.

Di luar itu, jika terdapat daerah yang mengalami kekurangan pasokan (misalnya akibat force majuer), juga tidak bisa serta-merta dapat ditangani oleh produsen lain. Sebagai barang dalam pengawasan negara, pengalihan alokasi pupuk bersubsidi ke bukan daerah pemasaran yang telah ditentukan pemerintah dapat berpotensi terjerat pidana. Kompleksitas di lapangan inilah yang dapat menyebabkan kelangkaan pupuk.

Ketiga, menyangkut pola subsidi pupuk. Seperti disebut di atas, Deptan adalah institusi yang berwenang menentukan besarnya kebutuhan pupuk bersubsidi di daerah. Perhitungan Deptan inilah yang digunakan untuk menentukan subsidi yang diterima produsen pupuk dari Departemen Keuangan.

Pola subsidi pupuk yang berlaku saat ini adalah pola subsidi harga gas. Besaran subsidi untuk urea dihitung berdasarkan harga gas sesuai kontrak (dolar AS/mmbtu) dikurangi harga gas yang menjadi beban produsen pupuk (dolar AS/mmbtu) dikalikan volume pemanfaatan gas. Produsen pupuk tetap membayar gas dengan harga sesuai kontrak, sedangkan selisihnya dibiayai APBN.

Pola subsidi melalui harga gas ini menimbulkan kompleksitas bagi produsen pupuk karena tidak compatible dengan perhitungan biaya produksi. Pola subsidi harga gas ini mengabaikan biaya lainnya di luar biaya gas. Padahal, selain gas masih terdapat biaya transportasi dan biaya operasi lainnya yang bergerak naik, sementara harga jualnya telah ditentukan melalui harga eceran tertinggi (HET).

Keempat, kelangkaan pupuk juga diakibatkan karena maraknya penyelundupan pupuk ke luar negeri oleh para mafia perpupukan. Penyebab penyelundupan tersebut adalah akibat adanya disparitas harga yang tinggi antara harga jual domestik (HET) dan harga ekspor. Harga pupuk di luar negeri bisa mencapai 250 dolar AS/ton, sedangkan HET hanya Rp 1.050 per kilogram (sekitar 100 dolar AS/ton).

Dari uraian di atas, terlihat bahwa di balik kasus kelangkaan pupuk di daerah, ternyata menyimpan masalah yang cukup rumit. Kasus kelangkaan pupuk ini tidak bisa ditangani secara parsial. Kelangkaan pupuk membutuhkan penanganan yang komprehensif dari berbagai sisi.

Terdapat beberapa solusi yang diusulkan untuk mengatasi kelangkaan pupuk ini. Pertama, menyangkut pola distribusi. Kami mengusulkan agar pengaturan pemasaran pupuk dikembalikan kepada holding, tanpa diatur lagi oleh Depdag. Pemerintah cukup mewajibkan holding agar kebutuhan pupuk bagi petani jangan sampai tidak tercukupi.

Kewajiban ini nantinya masuk dalam key performance indicator (KPI) ketika direksi holding BUMN pupuk dilantik. Dengan diserahkan ke holding, integrasi antara kebutuhan korporasi dan kewajiban pemasaran domestik (public service obligation) dapat diatur fleksibel sehingga fairness di antara produsen pupuk dapat dijaga.

Saat ini yang berperan sebagai holding adalah PT Pusri. Namun, fungsi holding ini dinilai tidak cukup efektif dijalankan Pusri sebab sisi pemasarannya masih diatur Depdag. Kementerian BUMN juga telah melakukan kajian pembentukan PT Pupuk Indonesia untuk menggantikan peran Pusri sebagai holding yang akan membawahi Pusri, PKT, Petrokimia, Kujang, dan PIM.

Kedua, perlu dipertimbangkan untuk mengganti pola subsidi harga gas dengan subsidi harga produk. Dengan pola ini, subsidi nantinya akan mencerminkan biaya riil yang dikeluarkan untuk men-deliver pupuk sampai ke petani.

Namun, audit atas struktur biaya produksi dan operasional produsen pupuk harus terlebih dahulu dilakukan. Ini mengingat dalam beberapa kasus dapat dijumpai adanya biaya yang tidak relevan dengan operasional produsen pupuk, tetapi dimasukkan dalam biaya operasional pengadaan pupuk.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008