Wednesday, March 12, 2008

BAHAN BAKAR NABATI DAN KEBAJIKAN ENERGI NASIONAL
















JAKARTA 12 MARET 2008

Bahan bakar nabati dan Kebajikan Energi Nasional

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Belakangan ini harga minyak dunia melejit mencapai kisaran 90 dolar sampai lebih dari 100 dolar AS per barel. Karena itu, sudah saatnya penggunaan sumber energi terbarukan ditingkatkan, di antaranya dengan bahan bakar nabati (BBN), sebagaimana tertuang dalam Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.
BBN cair meliputi biodiesel untuk mengganti solar dan bioetanol untuk bensin. Keduanya bahan bakar yang ramah lingkungan.
Biodiesel dapat diperoleh dari minyak sawit, minyak jarak, dan tanaman lain yang mengandung minyak. Penghasil bioetanol adalah bahan bergula (molases, aren, dan nira lain), bahan berpati (ubi kayu, jagung, sagu, dan ubi-ubian lain), dan bahan berserat (lignoselulosa).
Tahun 2010 Indonesia menargetkan BBN mengganti 10 persen konsumsi bahan bakar konvensional. Upaya pemerintah untuk pengembangan BBN diharapkan bisa memberikan tiga juta lapangan kerja bagi masyarakat, penghematan devisa negara sampai 10 miliar dolar. Perluasan areal tanaman penghasil BBN mungkin dapat memanfaatkan lima juta hektare lahan kritis. Tapi, dalam jangka panjang akan terjadi kompetisi hebat dalam pemanfaatan lahan untuk produksi BBN dengan pangan dan pakan.
Kompetisi BBN, pangan, dan pakan sudah mulai terasa. Sehubungan dengan kebijakan AS dan Eropa menjadikan BBN maka permintaan jagung dan kedelai naik sehingga harga pun melonjak. Di Indonesia terjadi kenaikan harga kedelai yang fantastis dari Rp 4.000 menjadi Rp 8.600 per kg. Ini tak hanya memukul masyarakat kecil karena tempe adalah lauk pauk istimewa bagi mereka, tetapi juga memukul pengusaha kecil produsen tempe dan tahu.
Dampak lainnya adalah kenaikan harga pakan ternak sehingga harga produk ternak ikut naik. Akibat pemanfaatan CPO sebagai biodiesel harga minyak goreng naik. Pengembangan jarak untuk biodiesel walaupun jarak bukan termasuk pangan, pengembangannya akan menggeser lahan untuk pangan.
Fenomena tersebut perlu diwaspadai sejak dini. Pencarian bahan alternatif yang tidak berkompetisi dengan pangan dan pakan sangatlah perlu dan mendesak untuk dipikirkan. Untuk itu sampah pertanian menjadi sumber yang menjanjikan.
Prospek sampah
Sampah pertanian kebanyakan limbah hasil olahan produk. Di Indonesia perkembangan industri pertanian telah menimbulkan peningkatan jumlah limbahnya. Limbah mengandung lignoselulosa tinggi, antara lain jerami, onggok, bonggol jagung, sabut, tandan kelapa sawit, serta bagase tebu, kulit kopi, dan kakao.
Seringkali limbah yang tidak tertangani akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Pada dasarnya limbah tidak memiliki nilai ekonomi, bahkan memerlukan biaya penanganan. Meski demikian, bila ditelaah lebih dalam limbah lignoselulosa sebagai bahan organik memiliki potensi besar sebagai bahan baku berbagai industri, di antaranya adalah bioetanol. Lignoselulosa terdiri atas tiga komponen fraksi serat, yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin.
Tahun 2006 Sunarti dari Fateta IPB dan Richana dari BB-Pascapanen Pertanian melakukan penelitian etanol dari tongkol jagung dengan rendemen 14,22 persen yang berarti satu ton tongkol jagung menghasilkan 142,2 liter etanol. Hasil ini belum sesuai dengan yang diharapkan, yaitu lebih dari 25 persen. Masalahnya harus mencari mikroba penghasil enzim lignoselulase yang unggul dan mikroba yang mampu merubah xylosa menjadi etanol.
Sampai saat ini hal tersebut masih menjadi topik penelitian dalam maupun luar negeri. Agblevor dari Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacsburg di Amerika Serikat, telah memanfaatkan kulit biji kapas sebagai bahan baku etanol dengan rendemen 30 persen. Seung Do-Kim dari Michigan State University memanfaatkan jerami padi menjadi etanol dengan rendemen 28 persen.
Target Pemerintah Indonesia pada 2025 sudah bisa menghasilkan bioetanol dari limbah pertanian yang tentu saja menuntut kerja keras peneliti dalam negeri bermitra pengusaha. Jika memungkinkan dapat dipercepat sehingga lima atau 10 tahun lagi.
Industri bioetanol
Sebetulnya industri bioetanol adalah industri limbah karena hasil bioetanol lebih kecil dibandingkan limbahnya. Ada beberapa produk samping yang bisa dihasilkan. Pertama, biogas, bioetanol berbahan baku lignoselulosa mempunyai limbah lignin, sedikit hemiselulosa dan komponen lain, yang masih bisa digunakan untuk biogas. Biogas yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai bahan bakar selama proses bioetanol sehingga energi proses yang selalu jadi kendala bisa teratasi. Sisa proses biogas digunakan untuk pupuk, lalu dikembalikan ke tanah.
Kedua, single cell protein, untuk pakan. Setelah fermentasi maka dilakukan distilasi untuk menghasilkan etanol. Sisa distilasi adalah larutan yang mengandung bahan organik dan sel-sel sacharomyces, sebagai single cell protein untuk pakan.
Ketiga, karbon dioksida (CO2). Banyaknya CO2 dari hasil fermentasi hampir sama dengan hasil bioetanolnya. Karbon dioksida ini bisa diproses kembali menjadi dry ice atau untuk minuman berkarbon. Di samping itu tidak kalah menariknya CO2 dapat pula untuk tumbuh algae yang konon juga menghasilkan minyak dan dapat digunakan sebagai biodiesel.
Diperkirakan algae pada kondisi terbaiknya mampu menghasilkan minyak 200 kali lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak (kelapa sawit, jarak pagar, dll) dengan sifatnya yang juga hampir mirip. Pertumbuhan algae memerlukan tiga komponen penting, yaitu sinar matahari, CO2, dan air.
Algae bisa dibudidaya dalam kolam, kemudian CO2 dari hasil proses bioetanol dialirkan di dalamnya. Kolam dibuat dangkal supaya algae tetap dapat memperoleh sinar matahari dan diberi atap transparan di atasnya untuk melindungi kerusakan algae dari percikan air hujan, dan kontaminasi mikroba.
Kondisi ini mencerminkan design photobioreactor. Adanya peningkatan CO2 di dalam sistem yang berasal dari hasil fermentasi bioetanol akan mempercepat pertumbuhan algae. Cara ekstraksi minyak dari algae yaitu dengan cara pengepresan atau dengan pelarut hexane. Limbah ekstraksi minyak algae berupa padatan dapat dicampur dengan limbah padatan bioetanol untuk diproses menjadi biogas dan pupuk.
Strategi masa depan
Sistem ini bisa dilakukan dalam skala kecil sehingga layak dilakukan di perdesaan di Jawa maupun luar Jawa. Sudah saatnya kita berdayakan petani dan buruh tani melalui kebijakan yang menjalankan reformasi agraria agar petani kita tidak lagi gurem.
Pemanfaatannya tidak hanya untuk energi transportasi, tetapi juga dikembangkan untuk pengganti minyak tanah atau bahan bakar keluarga di perdesaan. Bioetanol dengan kadar 60 persen masih bisa menyala dalam pembakaran dan perlu desain kompor yang dilengkapi tutup. Dengan pengembangan industri BBN di pedesaan maka diharapkan dapat membebaskan kemiskinan dan membentuk desa mandiri.
Tatkala kekhawatiran berbagai kalangan bila pengembangan bioetanol di perdesaan akan ada kemungkinan penyalahgunaannya untuk minuman, seperti kasus bir cap tikus di kawasan Indonesia Timur. Maka dengan sistem ini memungkinkan orang tidak ingin memanfaatkan sebagai minuman keras karena biasanya sampah mempunyai citra menjijikkan.
Saat ini mulai timbul perdebatan, bahkan ada ulama menyatakan bahwa energi yang diproses dari bahan pangan hukumnya haram. Dengan demikian, BBN berbahan baku limbah akan mengatasi masalah perdebatan tersebut karena tidak mengganggu ketahanan pangan, tapi justru mendukung program ramah lingkungan.
Strategi ini bukan program yang reaktif hanya untuk dua atau tiga tahun ke depan, tetapi selayaknya menjadi strategi masa depan. Seandainya sistem itu berjalan dengan baik maka diperkirakan 50 tahun ke depan sumber energi di negeri ini bisa sepenuhnya dari sumber hayati. Semoga ini bukan hanya sebuah impian.
Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008




JAKARTA 12 MARET 2008

Keberpihakan Pemerintah pada Peternak

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Asosiasi Pedagang Daging (APD) barangkali merasa lega karena salah satu tuntutannya menghilangkan monopoli perdagangan dan sapi impor dikabulkan pemerintah. Menyusul demo yang dilakukan oleh APD se-Jabodetabek beberapa hari lalu, Departemen Pertanian akhirnya memberikan lampu hijau pada dua perusahaan untuk mengimpor daging sapi dari Amerika Serikat ke Indonesia dalam waktu dekat.
Diperkirakan selambat-lambatnya April mendatang 4.000 ton daging asal AS sudah sampai di Tanah Air. Meski sudah saya perkirakan arah kebijakannya akan demikian, saya sempat sedikit kaget karena ini bertentangan dengan pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Anton Apriyantono yang disampaikan sehari sebelumnya.
Mentan menyatakan impor daging kita tahun lalu hanya sebesar 28 persen sehingga secara umum pasokan daging tidak akan terganggu karena masih tingginya daging lokal. Lantas, bagaimana nalarnya jika pasokan daging tidak terganggu, kemudian harus memaksakan diri mengimpor daging dari AS?
Kalau melihat kronologinya, kita akan paham mengapa akhirnya pemerintah memutuskan mengizinkan impor daging sapi dari AS. Sejatinya sejak pertengahan Desember tahun lalu sudah bergulir wacana mencabut larangan impor daging sapi dari AS. Alasannya, pelaku industri daging menganggap pembatasan impor membuat industri daging dalam negeri mengalami kekurangan bahan baku sehingga mengalami penurunan kinerja.
Kekurangan bahan baku ini membuat industri daging olahan kalah bersaing dengan industri sejenis dari negara-negara tujuan ekspor. Asosiasi Pengimpor Daging Indonesia (Aspidi) bahkan telah mengusulkan dicabutnya larangan impor dari AS jauh-jauh hari sebelum wacana itu bergulir di tingkat eksekutif. Terakhir, awal Januari lalu pemerintah kembali menegaskan untuk mencabut larangan impor daging sapi dari Amerika Serikat.
Meski demikian, peternak dan penggiat peternakan terang-terangan menolak rencana tersebut. Mereka khawatir, impor dari AS akan berdampak pada turunnya harga daging sapi dan menyebabkan hancurnya peternakan dalam negeri. Dikhawatirkan akan menimbulkan ketergantungan terhadap impor dalam jangka panjang.
Setelah sempat tenggelam beberapa saat, isu pencabutan larangan impor sapi dari AS kembali mencuat setelah demo yang dilakukan APD menuntut. Mereka mendesak pemerintah menghilangkan monopoli perdagangan serta daging impor.
Jika ditilik dari rentetan peristiwanya, tidak salah bila ada yang mengaitkan demo tersebut dengan rencana pemerintah. Tak mengherankan akhirnya larangan impor sapi dari AS benar-benar dicabut.
Tak ada keberpihakan
Realisasi pencabutan larangan impor daging sapi dari AS benar-benar menggambarkan betapa pemerintah tidak berpihak kepada peternak. Kekhawatiran peternak bahwa impor daging dari AS akan berdampak buruk bagi usaha mereka bukan tanpa alasan.
Dengan struktur industri peternakan yang didominasi oleh peternak skala kecil, tentu sangatlah berat bagi peternak kita bersaing dengan peternak AS yang umumnya berskala besar. Apalagi, kebanyakan negara maju akan melakukan segala upaya untuk penetrasi pasar ekspor.
Sering untuk meningkatkan daya saing atau membuat produk lebih murah, mereka tak segan-segan memberikan subsidi terhadap industri yang dinilai memiliki potensi ekspor. Inilah yang menyebabkan industri pertanian (termasuk peternakan) di negara sedang berkembang sulit bersaing dengan negara maju.
Selain itu, untuk menjamin kelangsungan suatu industri pertanian, kebijakan impor seharusnya juga seiring dengan kebijakan karantina. Pemerintah sepertinya sudah lupa kejadian tahun 2004 ketika 141 kontainer importasi hewan dan produk turunannya disita oleh Bea dan Cukai, 48 delapan di antaranya berasal dari AS.
Pemerintah menolak impor daging dari AS menyusul ditemukannya satu kasus penyakit sapi gila (Bovine Spongiform Encehalopathyl/BSE) di Amerika Serikat pada Desember 2003. Pemerintah juga seakan tak ingat betapa wabah sapi gila di Inggris awal 1990-an yang meluluhlantakkan industri peternakan di Inggris tersebut.
Seharusnya pemerintah sadar akan risiko dan kerugian yang harus ditanggung jika wabah itu benar-benar terjadi di Indonesia. Seperti flu burung, penyakit sapi gila merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena dapat ditularkan pada manusia. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini bisa mengakibatkan kerusakan otak dan tulang belakang pada sapi.
Pada manusia varian dari penyakit ini disebut sebagai Creutzfeldt-Jakob Disease (vCJD). Secara keseluruhan sampai saat ini sudah ditemukan tiga kasus BSE dan tiga kasus vCJD di AS. Jangan sampai untuk mendapatkan harga yang lebih murah, kepentingan peternakan domestik jangka panjang yang jauh lebih penting harus dikorbankan.
Saya heran mengapa pengalaman kasus flu burung juga tak juga menyadarkan pemerintah akan bahaya wabah penyakit pada ternak. Bukankah pemerintah telah mengeluarkan biaya yang begitu besar untuk pemusnahan unggas dan penanganan penderita (maupun suspect) flu burung?
Belum lagi derita yang dirasakan oleh peternak yang usahanya harus pupus karena serangan virus mematikan tersebut. Juga kesedihan keluarga korban yang harus kehilangan sanak saudaranya karena keganasan virus tersebut.
Soal impor, pemerintah seharusnya juga mengambil pelajaran dari kasus kedelai. Jangan sampai kita terjebak pada lingkaran setan yang bernama 'ketergantungan impor'.
Kedaulatan pangan harus tetap dikedepankan. Memperbesar kran impor pada kasus sapi sama saja dengan memelihara anak singa yang setiap saat bisa menimbulkan bahaya bagi diri kita sendiri. Dengan total produksi sapi domestik lebih dari 70 persen, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk menggairahkan kembali industri peternakan sapi di Indonesia yang sempat terpuruk akibat hantaman krisis.
Sesungguhnya, masalah pokok yang dihadapi oleh industri peternakan di Indonesia adalah rendahnya produktivitas pembibitan dan tidak tersedianya cukup pakan di beberapa daerah tertentu. Maka langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah adalah meningkatkan produktivitas pembibitan dan ekstensifikasi peternakan di berbagai daerah potensial, terutama di kawasan timur Indonesia.
Dengan ketersediaan lahan yang masih cukup luas serta pakan yang menjanjikan, kawasan timur Indonesia, utamanya Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Papua), bisa menjadi substitusi Jawa yang produksi ternaknya semakin menurun. Kita tunggu saja apakah masih ada komitmen pemerintah untuk memajukan peternakan nasional.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008



JAKARTA 12 MARET 2008

Kesetaraan gender dan Kemajuan Bangsa

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Tanggal 8 Maret merupakan Hari Perempuan Internasional (HPI). Tujuan peringatan antara lain untuk memperjuangkan kesetaraan, keadilan, dan perdamaian, tanpa melihat batas-batas negara, perbedaan suku, bangsa, agama, budaya, bahasa, politik, dan ekonomi. Namun, celakanya meski HPI itu diperingati setiap tahun selama hampir satu abad, ketidaksetaraan gender masih berlangsung di sejumlah belahan bumi.
Ini terdeteksi dari capaian indeks pembangunan manusia berbasis gender (IPG) yang nilainya di bawah capaian indeks pembangunan secara keseluruhan (IPM). Selisih nilai IPM dengan IPG merefleksikan bias gender dalam kualitas hidup.
Umumnya selisih IPM dengan IPG itu kian besar pada negara-negara yang kian kurang berkembang. Sebaliknya kian kecil pada negara-negara yang semakin maju. Maka, besaran nilai bias itu merupakan indikasi kemajuan suatu bangsa (UNDP, Human Development Report, 2005).
Berdasarkan kaidah ukuran indikatif bias gender itu terhadap kemajuan bangsa, kita dapat mencermati perkembangan yang terjadi di Tanah Air. Secara faktual pada 2005 besarnya IPM 69,6 dan IPG 65,1, dengan selisih sebesar 4,5 poin (BPS, 2006). Ketidaksetaraan dalam kualitas hidup antara perempuan dan laki-laki yang paling mendasar adalah dalam soal kapabilitas.
Ada dua unsur penting yang mendasari kapabilitas dimaksud, yakni pendidikan dan kesehatan. Pada aspek pendidikan, itu tecermin dari capaian rata-rata lama sekolah (mean years schooling atau MYS). Pada 2005 MYS untuk perempuan 6,7 tahun, sedangkan laki-laki sebesar 7,8 tahun (BPS, 2006).
Pada aspek kesehatan terefleksi dari capaian angka umur harapan hidup. Pada 2005 angka umur harapan hidup perempuan 69,6, sedangkan laki-laki 65,1 (BPS, 2006). Meski angka umur harapan hidup perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki, selisihnya 4,5 tahun berada di bawah rata-rata global, sekitar lima tahun (UNDP, 2007).
Lebih tingginya angka umur harapan hidup perempuan dibanding laki-laki merupakan fenomena universal. Namun, semakin rendah selisih angka umur harapan perempuan dengan laki-laki mencerminkan adanya persoalan gender.
Kemajuan bangsa
Ketidaksetaraan dalam kapabilitas dasar akan mendistorsi kemajuan bangsa. Ini tidak mengada-ada mengingat tertinggalnya kapabilitas dasar perempuan akan mengakibatkan pada dua hal. Pertama, kontribusi perempuan dalam pembangunan menjadi rendah. Tidak banyak pengharapan dari perempuan yang memiliki pendidikan dan kesehatan rendah untuk memperbesar output pembangunan.
Kedua, kontribusi perempuan sebagai pembentuk generasi bangsa menjadi lemah. Tipis harapan bahwa kualitas penerus bangsa akan meningkat jika perempuan yang melahirkan mereka memiliki pendidikan dan kesehatan rendah.
Maka, atas dasar itu diperlukan upaya serius agar perempuan secara perlahan dapat berperan sebagai agen perubahan. Ini bisa tercapai jika pemerintah konsisten melakukan paradigma pembangunan manusia.
Adapun paradigma pembangun manusia tersebut terdiri dari empat poin. Pertama, soal produktivitas. Ini terkait dengan unsur kapabilitas. Produktivitas perempuan dapat meningkat sejajar dengan laki-laki apabila memiliki kapabilitas yang setara.
Untuk itu, diperlukan upaya lebih keras lagi dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk memberi peluang sama dalam pendidikan dan kesehatan. Umumnya kesempatan sama dalam pendidikan telah dilakukan, tetapi sebatas pendidikan menengah bawah.
Namun, semakin banyak laki-laki yang bersekolah dibanding perempuan. Hal ini terlihat dari angka partisipasi sekolah yang hampir sama pada jenjang pendidikan menengah bawah. Kemudian, angkanya kian berbeda pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi. Kesempatan sama pada kesehatan juga perlu diperbesar mengingat tingginya angka kematian ibu yang sekaligus mengindikasikan akan ketidaksetaraan kesehatan dimaksud.
Kedua, soal peluang yang sama. Ini berkaitan dengan peluang dalam ekonomi dan politik. Sejumlah faktor yang menyebabkan ketidaksamaan peluang itu mesti diminimalkan.
Dalam ekonomi, misalnya, peraturan tentang pinjaman kredit yang membedakan antara laki-laki dan perempuan sepatutnya ditinjau kembali. Di bidang politik, perlu diperbesar bagi perempuan untuk duduk di parlemen.
Di beberapa negara, seperti Vietnam dan Kuba, keterwakilan perempuan cukup besar sehingga dapat berkontribusi pada peningkatan kapabilitas perempuan (UNDP, 2006). Tercatat pada 2006 keterwakilan perempuan di parlemen di Tanah Air hanya 11,3 persen (BPS, 2006).
Ketiga, soal kesinambungan pembangunan. Ini penting untuk menjaga konsistensi program pembangunan jangka panjang. Masalah kesinambungan pembangunan ini demikian penting untuk diperhatikan terutama setelah memasuki era reformasi.
Pemberlakuan otonomi daerah pada waktu lalu dapat mendistorsi kesinambungan pembangunan itu mengingat setiap pemimpin pada masing-masing periode menetapkan visi sendiri yang kerap berbeda dengan visi sebelumnya. Fenomena ini paling nyata terlihat dalam program keluarga berencana (KB) yang programnya tersendat pada era reformasi ini sehingga menjadi ancaman serius terhadap peningkatan pertumbuhan penduduk.
Keempat, soal pemberdayaan. Ini terkait dengan partisipasi perempuan dalam pembangunan. Secara faktual partisipasi perempuan masih rendah, terindikasi dari angka partisipasi angkatan kerja perempuan yang cukup rendah. Tercatat dari setiap sepuluh penduduk perempuan usia 15 tahun atau lebih, hanya empat yang aktif dalam kegiatan ekonomi (BPS, 2006).
Berbagai upaya diperlukan untuk lebih memajukan perempuan yang berarti adanya komitmen yang tinggi dari semua pihak, mulai dari pemerintah, masyarakat, hingga dunia usaha untuk menghilangkan ketidaksetaraan gender.
Kemajuan perempuan sangat diperlukan bagi kemajuan bangsa karena perempuan dapat berperan sebagai agen perubahan, khususnya sebagai pembentuk kualitas generasi mendatang. Semoga peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini dapat dijadikan momentum kebangkitan kaum perempuan agar kian berperan dalam memajukan bangsa.
Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008



JAKARTA 12 MARET 2008

Kenaikan Harga BBM dan Peta Energi

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Kenaikan harga BBM yang sudah menyentuh angka psikologis, 100 dolar AS per barel, benar-benar amat merisaukan dunia, tak terkecuali Indonesia. Akibatnya, pemerintah menghitung ulang APBN 2008.
Ada banyak anggaran departemen harus dipotong, termasuk untuk departemen strategis, seperti Dephan dan Depdiknas. Pemotongan ini tak terhindarkan karena Indonesia bukan lagi negeri pengekspor minyak. Sebaliknya, Indonesia menjadi pengimpor BBM (400 ribu ribu barel per hari).
Sebagai penghasil BBM ukuran kecil, Indonesia tidak akan mampu mengatasi kenaikan harga minyak. Dengan hasil minyak 0,9 juta per hari dengan kebutuhan 1,3 juta barel per hari, Indonesia tak dapat berbuat banyak. Indonesia tidak seperti negara Teluk, sulit meningkatkan produksi minyaknya dalam waktu dekat.
Sebetulnya Indonesia punya banyak sumber energi selain minyak, seperti panas bumi, angin, sinar matahari, gelombang laut, dan biofuel yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Yang terakhir ini jenisnya banyak sekali karena seluruh tumbuhan yang menghasilkan minyak dan karbohidrat bisa dipakai untuk sumber energi.
Jagung, singkong, uwi, gembili, tebu, sagu, dan lain-lainnya pada dasarnya bisa dipakai untuk bahan baku energi pengganti BBM. Brasil, misalnya, sejak 1980-an memilih tebu untuk produksi etanol (alkohol) sebagai pengganti BBM. Mereka cepat merespons krisis minyak tahun 1980-an (akibat Perang Irak-Iran) dan bersumpah tidak mau tergantung dari BBM.
Sejak itu semua daya upaya dikerahkan untuk memproduksi etanol sebagai pengganti BBM. Semua kendaraan bermotor yang masuk Brasil harus dimodifikasi sehingga bisa memakai etanol. Hasilnya, luar biasa, Brasil termasuk pelopor pemakaian biofuel dan 50 persen kebutuhan energinya dipasok kebun-kebun tebu tadi.
Lantas, bagaimana Indonesia? Jika Brasil memilih bahan baku energinya dari tebu, apakah Indonesia juga akan memilh tebu? Inilah yang perlu kita diskusikan bersama.
Soalnya, tidak semua tanah di Indonesia cocok dengan tebu. Tanaman tebu perlu perawatan yang baik, irigasi yang baik, pupuk yang baik, dan lain-lain. Brasil sebagai sebuah negeri berbentuk kontinen, memungkinkan mobilitas dan sosialisasi yang cepat dan terpadu kepada rakyat untuk menanam tebu secara besar-besaran.
Indonesia? Sebagai negeri kepulauan, agak sulit melakukan mobilisasi dan sosialisasi pembangunan kebun energi itu secara cepat dan terpadu. Tapi, itu tak berarti Indonesia tidak mempunyai cara efektif dan efisien dalam menciptakan kecukupan energi non-BBM.
Wilayah Indonesia mempunyai variasi geografi dan jenis tanah yang sangat beragam. Jenis tanah di Pulau Jawa, misalnya, sangat berbeda dengan di Kalimantan. Di Sumatra, misalnya, berbeda pula dengan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Begitu juga dengan iklim, kelembaban, dan suhu udara.
Semua itu memengaruhi jenis tumbuhan yang baik untuk ditanam di wilayah-wilayah bersangkutan. Jarak dan jagung, misalnya, bagus untuk ditanam di wilayah NTT. Kelapa sawit sangat bagus di Riau dan sebagian di Kalimantan. Singkong bagus ditanam di Lampung. Itu sudah terbukti. Lampung dikenal sebagai provinsi penghasil singkong terbesar di Indonesia.
Dari situlah kita bisa membuat peta produksi energi di seluruh wilayah Indonesia untuk menghadapi kemahalan dan kelangkaan BBM. BBM (fossil fuel) bisa digantikan dengan biofuel. Biofuel ini bisa berupa minyak (dari jarak dan sawit) maupun alkohol (fermentasi dari karbohidrat, seperti tebu, singkong, dan ubi).
Dari perpektif inilah kita bisa melihat di mana saja seharusnya pemerintah mengembangkan biofuel dan daerah yang baik untuk pengembangan biofuel jenis tertentu. Dengan demikian, setiap daerah mempunyai spesifikasi biofuel sesuai dengan karakteristik tanah dan iklim wilayahnya. Pemerintah bisa diversifikasi energi.
Di NTT jika dikembangkan pohon jarak untuk sumber energi, daerah ini tidak akan tergantung pada BBM lagi. Begitu pula di Lampung bila dikembangkan tanaman singkong untuk energi, niscaya daerah tersebut bisa swembada bahan bakar (etanol).
Perusahaan dari Timur Tengah sudah mulai investasi pengembangan biofuel minyak jarak di NTT. Beberapa perusahaan nasional sudah mulai membangun pabrik pengolahan singkong menjadi etanol di Lampung. Jika penelitian terus dilakukan dengan intensif, niscaya ditemukan lagi jenis tanaman lain yang bagus untuk menghasilkan biofuel tadi.
Di samping pemetaan wilayah sumber bahan baku energi, pemerintah juga seharusnya mulai memikirkan pemetaan kecanggihan teknologi dalam pemakaian bahan bakar. Kompor masak dan lampu teplok yang memakai bahan bakar minyak tanah, jelas sangat tidak efisien. Kenapa? Karena minyak tanah itu spesifikasinya adalah untuk bahan bakar pesawat terbang yang menggunakan teknologi tinggi. Kerosin harganya amat mahal lantaran bisa untuk menggantikan avtur.
Sebagai ganti kerosin, mereka bisa memakai minyak jarak kualitas tertentu (grade rendah yang bisa dipres langsung dari biji jarak dengan teknologi sederhana) yang masih kasar yang bisa dibuat oleh penduduk. Juga bisa menggunakan batu bara atau bahan bakar cair yang berasal dari batu bara.
Beberapa perguruan tinggi berhasil membuat bahan bakar cair dari sampah organik. Seterusnya harus dipilah bahan bakar untuk tungku, pabrik, mobil, pesawat, dan lain-lain.
Sebagai negeri yang paling banyak mempunyai gunung berapi, Indonesia sangat kaya energi panas bumi. Sekitar 40-an persen potensi energi panas bumi di seluruh dunia ada di di Indonesia. Potensi energi panas bumi ini mencapai 2700 giga watt. Luar biasa! Belum termasuk energi matahari, angin, dan gelombang laut.
Semua ini kalau dikelola dengan baik akan menjadikan Indonesia makmur energi. Dari perspektif ini, pemerintah bisa memetakan kebutuhan energi nasional berdasarkan data-data mapping energi dan teknologi proses pembuatan bahan baku energi tersebut. Dari mapping itu akan bisa dibuat grafik, simulasi kebutuhan energi, dan tingkat harganya.
Saat ini BBM impor dari Timur Tengah harus didistribusikan ke Papua, NTT, dan daerah pedalaman. Ini menyebabkan harganya tinggi karena ongkos transportasi dan distribusinya mahal. Seandainya untuk daerah-daerah pedalaman masyarakat bisa membuat bahan bakar sendiri dari tanaman yang ada di sekitarnya, minimal untuk memenuhi kebutuhan mesin-mesin tingkat bawah (kompor dan lampu teplok), akan banyak sekali penghematan pemakaian kerosin.
Di pihak lain, pemakai mesin canggih, seperti mobil mewah yang jumlahnya sedikit, bisa membeli avtur atau biofuel tingkat tinggi yang lebih mahal. Pemerintah tak perlu menyubisidi mereka. Jika itu terjadi, akan banyak BBM yang bisa dihemat. Pemerintah tidak perlu pusing memikirkan kenaikan harga BBM dan rakyat yang sudah terbiasa dengan diversifikasi energi akan menerima semua itu.
Dengan demikian, kenaikan harga BBM itu tak cukup untuk menjadi alasan Indonesia harus mengurangi dana pembangunannya untuk menyubsidi kenaikan harga minyak. Jika itu terjadi, Indonesia akan selamat dari krisis multidimensi yang dipicu kenaikan harga BBM dunia itu.
Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008




JAKARTA 12 MARET 2008

Mendanai Modernisasi Alutsista TNI AL

(RACHMAD YULIADI NASIR,rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Dipicu dengan peristiwa tenggelamnya panser amfibi milik Korps Marinir Angkatan Laut (AL) pada latihan perang di Situbondo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu, makin terkuaklah informasi mengenai kondisi alat utama sistem persenjataan (alutsista) milik TNI. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai merasa perlu menginstruksikan agar TNI tidak memakai lagi alutsista yang sudah uzur.
Masalahnya adalah ternyata sebagian besar alutsista yang dipunyai republik ini sudah cukup umur. Dalam pemberitaan media disebutkan bahwa Korps Marinir TNI AL masih memakai panser amfibi warisan dari perang Dwikora zaman Bung Karno. Demikian pula dengan jumlah dan kualitas kapal perang yang dipunyai oleh TNI AL masih jauh dari kekuatan ideal.
Semua pihak kiranya sependapat bahwa pada saat ini ruang gerak anggaran negara sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan pembelian persenjataan bagi TNI. Menanggapi kondisi itu, beberapa pihak mengusulkan agar pemerintah meremajakan persenjataan TNI yang dananya diperoleh dari pemberantasan pencurian ikan (illegal fishing) dan pemberantasan pembalakan liar (illegal logging). Tulisan ini membahas apakah usulan tersebut dapat dan layak dilaksanakan, khususnya pendanaan alutsista TNI AL dari pemberantasan illegal fishing.
Kerugian dari illegal fishing
Data dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) menyebutkan bahwa kerugian negara dari illegal fishing mencapai Rp 30 triliun setiap tahun. Kerugian ini sangat besar, misalnya apabila dibandingkan dengan anggaran DKP tahun 2008 yang berkisar Rp 3,3 triliun. Jumlah ini juga nyaris menyamai anggaran Departemen Pertahanan tahun 2008.
Dalam menanggulangi pencurian ikan, tentu saja DKP membutuhkan bantuan instansi lain. DKP sudah mempunyai kapal pengawas, tetapi jumlahnya tak mencukupi. Sesuai amanat UU 31/2004 tentang Perikanan, DKP membentuk forum koordinasi tindak pidana di bidang perikanan dengan TNI AL dan Polri. Masuk akal jika ada pihak yang mengusulkan agar TNI AL memperoleh sebagian dana yang diperoleh dari kegiatan pemberantasan pencurian ikan. Jika angka kerugian ini katakanlah dapat diselamatkan satu persen saja, berarti setiap tahun pemerintah bisa membeli satu kapal perang jenis korvet yang berharga Rp 2 triliun sampai Rp 2,5 triliun.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62/2002 yang telah diubah dengan PP Nomor 19/2006, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku pada DKP terdiri dari pungutan perikanan dan jasa-jasa (antara lain jasa pelabuhan perikanan, jasa pengembangan penangkapan ikan, dan jasa penyewaan fasilitas). Dengan demikian, PP ini tidak mengatur hasil tangkapan dan sitaan operasi pengawasan pencurian kapal asing sebagai sumber PNBP dari DKP.
Seandainya hasil operasi pemberantasan pencurian ikan tergolong PNBP, PP 73/1999 memperbolehkan bagi instansi tertentu untuk mempergunakan sebagian dana PNBP untuk kegiatan tertentu, antara lain untuk kegiatan penegakan hukum dan pelestarian sumber daya alam. Pada kenyataannya, PNBP DKP setiap tahun hanya Rp 200-300 miliar. Itu pun berdasarkan UU 33/2004, dananya hanya 20 persen diterima oleh pemerintah pusat, sedangkan 80 persen dibagikan untuk seluruh kabupaten/kota.
Jika menggunakan aturan PNBP tidak memungkinkan, UU 31/2004 tentang Perikanan justru lebih memberikan peluang. UU ini memperkenalkan adanya Pengadilan perikanan yang merupakan peradilan khusus di lingkungan peradilan umum. Pengadilan perikanan seharusnya efektif mulai dua tahun sejak diundangkan, yaitu 6 Oktober 2006. Tetapi, berdasarkan Perpu 2/2006 diberlakukan paling lambat tanggal 6 Oktober 2007. Dengan demikian, saat ini seharusnya pengadilan tersebut telah berjalan dan dapat memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
Dalam UU 31/2004 terdapat pasal bahwa kepada aparat hukum dan pihak-pihak yang berjasa menyelamatkan kerugian negara dari tindak pidana perikanan dapat diberikan insentif. Insentif ini berasal dari sebagian hasil lelang atas benda dan/atau alat rampasan yang dipergunakan atau dihasilkan dari kegiatan tindak pidana perikanan. Dengan demikian, jika aturan ini ditegakkan, TNI AL dapat memperoleh sebagian dari hasil lelang dari kapal rampasan atau tangkapan ikan ilegal.
Berdasarkan uraian di atas, usulan peremajaan alutsista dengan dana dari pemberantasan pencurian ikan tampaknya masuk akal dan layak. Tetapi, jika dicermati lebih jauh, angka Rp 30 triliun kerugian dari pencurian ikan adalah angka potensi. Angka ini dihitung dari potensi maksimal perikanan Indonesia (2001) sebesar 6,4 juta ton/tahun dikali rata-rata pencurian 25 persen dari potensi perikanan dikali harga ikan di pasaran internasional (dua dolar AS).
Angka 25 persen ini adalah data FAO tahun 2002 yang menyatakan bahwa negara berkembang rata-rata menderita kerugian dari pencurian ikan sebesar 25 persen dari potensi yang dipunyainya. Dengan demikian, angka potensi kerugian ini tidak dapat digunakan sebagai acuan untuk menghitung potensi dana yang dapat dipakai TNI AL untuk meremajakan alutsistanya.
Peraturan yang ada sudah memungkinkan untuk penggunaan dana hasil lelang kapal/ikan rampasan. Tetapi, jumlah dana yang dapat diperoleh sangat tergantung dari hasil kerja DKP, TNI AL, Polri, dan Pengadilan Perikanan untuk memberantas illegal fishing.

Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008



Jangan BugilVisit Indonesia 2008
RACHMAD YULIADI NASIR
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Arthaloka : 913-22775-99
www.news-independent.blogspot.com

www.halamansatu.net/index.php?option=com_content&task=view&id=349&itemid=50
Jangan BugilVisit Indonesia 2008