Saturday, February 23, 2008

24 FEBRUARI 2008

JAKARTA 24 FEBRUARI 2008

Masa Transisi Harus Diakhiri


(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Saat ini Indonesia masih ada dalam masa transisi dari reformasi untuk menjadi negara demokrasi yang mapan. ''Masa transisi ini harus diakhiri. Bila tidak, akan terjadi kelelahan politik-ekonomi,'' kata pengamat politik AS Hikam dalam dialog yang diadakan Universitas Andalas, di Hotel Sahid, Jakarta, Sabtu (23/02).
Akibat paling parah jika demokrasi kita tidak segera mapan, menurut Hikam, adalah kemunduran. ''Karenanya, masa transisi ini harus segera diakhiri. Jika tidak, kita bisa mengalami kemunduran,'' tegasnya. Menurutnya, seluruh pemandu kepentingan di negara ini perlu mengakhirinya dan harus jelas kapan masa transisi itu akan berakhir. ''Kita tak bisa prediksi. Semua itu tergantung pada pemandu kepentingan, terutama pemerintah, civil society, dan DPR. Ini mengisyaratkan pentingnya kerangka politik untuk mengakhiri masa transisi,'' katanya.
Hikam mempertanyakan apakah reformasi sudah betul-betul mengimplementasikan tuntutan agendanya. Dalam reformasi, menurutnya, agenda besar yang diusung sejak awal adalah menciptakan kemakmuran dan jaminan HAM bagi masyarakat.
Menurut Hikam, kendati ada proses perubahan, yang terjadi adalah pada produk hukum seperti empat kali amandemen UUD 1945 dan kebijakan. ''Kalau dilihat dari situ, kita sudah cukup sesuai agenda, tapi kondisi riil di masyarakat yang menimbulkan pertanyaan,'' katanya.
Pengamat hukum Saldi Isra menilai, panjangnya masa transisi di negeri ini karena ketidakmampuan dan ketidaksiapan para legislator untuk mengakhirinya. ''Karena mereka mengisinya dengan berbagai pertarungan politik, terlebih menghadapi 2009. Pertarungan ini sudah dimulai sejak tahun lalu. Pertarungan untuk pemilu seharusnya cukup satu tahun,'' katanya.
Menurut Saldi, banyak contoh yang bisa diambil dari pertarungan yang terjadi. Misalnya soal pencalonan presiden hingga electoral threshold. Selain itu, banyak pula kalangan elite yang berlomba-lomba menyiasati norma hukum untuk mendapatkan simpati.
Kalau pun ada produk hukum yang terbentuk, tambah Saldi, tanpa melalui proses pengujian yang cukup. Bahkan, UU yang dihasilkan belum dilaksanakan dengan baik oleh para pelakunya, termasuk pemerintah, karena pengujian setengah matang yang mengharuskan Mahkamah Konstitusi (MK) melakukannya.
Problem yang dihadapi bangsa ini, tambah Saldi, adalah sifat pelupa. Berbagai pihak, terutama elite politik, mengumbar janji, namun tidak dilaksanakan. ''Perlu dipikirkan bagaimana menata hukum agar komitmen para elit dapat dipegang. Perlu ada forum untuk menagih janji,'' katanya. Masalah-masalah itulah, tambah Saldi, mengakibatkan proses mengakhiri masa transisi jadi lama, karena kelemahan politik dan norma hukum beralih untuk mencari simpati.
Menurut ekonom UGM Raflison Baswir, tujuan reformasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dia pun mempertanyakan relevansi keramaian politik dan legislasi itu bagi kesejahteraaan rakyat. ''Sebanyak 70-80 persen aspek ekonomi terkait politik. Kalau relevan, OK saja. Tapi, kenyataannya relevan atau tidak?'' katanya.
Rezim politik di Indonesia, tambahnya, berganti-ganti, tapi agenda ekonominya tetap yaitu ekonomi liberal. ''Indikasi yang diberlakukan sama, yaitu privatisasi, kebijakan finansial, dan pengurangan subsidi,'' katanya.
Melihat berbagai masalah yang ada di bidang politik dan ekonomi itu, Raflison menyangsikan masa transisi di Indonesia akan segera selesai. ''Saya khawatir, kalau bicara transisi, kita tak akan ke mana-mana, hanya berubah dari kolonialisme ke neo kolonialisme,'' katanya.
Menurut AS Hikam, lembaga DPR merupakan pusat kebijakan dan produk hukum yang menentukan dalam masa transisi. ''Memang ada kesan bahwa legislator itu lemah. Namun, produk-produk hukum seperti itu karena ada faktor kelemahan perangkat dan sumber daya manusia di DPR,'' katanya.
Produk hukum yang dihasilkan legislator, tambahnya, sebenarnya sudah mencerminkan keinginan terbesar reformasi. Tapi, pelaksanaannya belum berjalan. Yang terjadi, justru lebih banyak kompromi yang memunculkan lobi-lobi dan keanehan-keanehan lainnya.

www.news-independent.blogspot.com

JAKARTA 24 FEBRUARI 2008

Bus Transjakarta akan Lawan Arah


(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta menerapkan sistem contra-flow. Dengan sistem ini, bus transjakarta akan meluncur berlawanan arah dengan kendaraan lain yang melintas di lajur yang sama. Cara ini membuat kendaraan lain, baik roda empat maupun roda dua, tak mungkin memasuki lajur khusus busway.
Uji coba sistem itu akan diterapkan di koridor VI (Ragunan-Buncit-Mampang-Kuningan-Halimun), Senin (25/2). Namun, bus Transjakarta tak akan melawan arah sepanjang 13,3 KM koridor itu. Uji coba melawan arah hanya dilakukan sepanjang satu KM, mulai dari persimpangan Duren Tiga hingga persimpangan Mampang Prapatan.
Bus Transjakarta ke arah Kuningan akan keluar jalur busway di persimpangan Duren Tiga, lalu masuk ke jalur busway arah yang berlawanan. ''Sedangkan ke arah Ragunan, bus Transjakarta akan keluar di persimpangan Mampang Prapatan,'' kata Manajer operasional BLU Transjakarta Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Rene Nunumete, di Jakarta, Jumat (22/2).
Uji coba contra-flow itu hanya pada puncak jam sibuk, pukul 07.00-10.00 WIB. BLU menerapakan sistem contra-flow karena sistem buka-tutup dengan membolehkan kendaraan lain memasuki lajur khusus busway tak efektif. Bus Transjakarta, kata Rene, kerap terlambat sampai tujuan karena terjebak macet akibat banyaknya kendaraan lain yang masuk lajur khusus.
''Di koridor enam, jarak tempuh normal hanya 55-60 menit. Tapi, akibat terjebak kemacetan, waktu tempuhnya dapat mencapai 120-150 menit,'' kata Rene.
Karena sering terlambat, Rene mengatakan penumpang menurun hingga 30 ribu orang. Sebelum ada kebijakan buka-tutup, jumlah penumpang 210 ribu orang per hari. Setelah ada sistem buka-tutup, penumpang hanya 180 ribu per hari. Penurunan terparah, kata Rene, terjadi di koridor VI, dari 23 ribu menjadi 18 ribu.
Sebenarnya, kata Rene, sistem buka-tutup hanya diberlakukan di tiga koridor, yaitu VIII (Lebakbulus-Harmoni), IX (Pinangranti-Pluit), dan X (Cililitan-Tanjung Priok). Tujuannya untuk mengatasi kemacetan. Adapun koridor I-VII, khusus untuk bus Transjakarta.
Pengguna bus Transjakarta sebagian besar beralih menggunakan kendaraan roda empat pribadi, bukan kendaraan roda dua. Buktinya, kata Rene, penitipan motor di kawasan Jakarta Selatan semakin sepi. ''Penerapan sistem contra-flow diharapkan mempersingkat waktu tempuh 50 menit pada jam sibuk,'' kata Rene.

JAKARTA 24 FEBRUARI 2008

RI Kirim lagi Sampel Virus AI

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-Pemerintah Indonesia telah kembali mengirimkan sampel virus flu burung (avian influenza) H5N1 ke laboratorium pusat kolaborasi (CC) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Atlanta, AS.
''Persiapan pengiriman sudah seminggu yang lalu, dan pengiriman (sampel virus) dilakukan awal minggu ini,'' kata Menkes, Siti Fadilah Supari, Jumat (22/2).
Sampel virus H5N1 yan dikirim ke WHO, ungkapnya, adalah spesimen virus yang diambil dari 12 pasien infeksi flu burung terakhir di Indonesia. Pengiriman spesimen virus itu, dilakukan dalam kerangka perjanjian transfer material (MTA). Namun, dia tak merinci isi dokumen perjanjian pengiriman sampel itu. Sejak November 2006, Indonesia memboikot WHO dengan tak mengirimkan sampel virus flu burung melalui Global Influenza Surveilance Network (GISN). Protes Pemerintah Indonesia itu terkait perlakuan tak adil WHO. Di halaman 12 buku Siti Fadilah yang berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung, ada dua ketidakadilan WHO yang menyakitkan bangsa Indonesia. Pertama, soal pendistribusian vaksin yang tidak adil terhadap negara berkembang sebagai penyumbang sampel virus. Kedua, kesimpulan WHO terhadap kasus klaster di Tana Karo, Sumatra Utara, yang menyatakan kematian tujuh dari delapan bersaudara di Tana Karo akibat virus telah menular antarmanusia (human to human transmission). ''Kesimpulan yang sangat sembrono, sangat gegabah,'' ungkap Siti kesal. Sejak virus H5N1 menyerang Indonesia dan negara berkembang lainnya, ''Kami mengalami ketidakadilan dan ketidaktransparanan dalam mekanisme sharing virus yang berhubungan dengan produksi vaksin.'' Selama ini, negara-negara terinfeksi yang diwakili negara berkembang dan miskin diminta mengirim virus H5N1 lewat mekanisme GISN. ''Ini artinya negara berkembang harus mengirimkan sampel virusnya, namun ketika sampai di WHO, mereka menguasai secara penuh virus itu. Negara berkembang tak pernah tahu buat apa virus itu digunakan.'' Saat negara berkembang membutuhkan vaksinnya, mereka harus membeli dengan harga mahal. Konsekuasinya, mereka harus meminjam dana dari negara maju. ''Ketidakadilan WHO itu dapat mengancam keamanan kesehatan dunia,'' tegasnya. Cara itu, ia nilai sebagai bentuk penindasan baru negara maju terhadap negara berkembang. Jika terus berlangsung, negara miskin akan kian miskin. ''Mekanisme ini lebih berbahaya dari penyebaran virus AI itu sendiri (bahkan lebih dahsyat dari ledakan nuklir),'' paparnya masih dalam buku itu. Usai rapat terbatas di Depkes, Rabu (20/2), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan Pemerintah Indonesia bersedia bekerja sama dengan WHO dan pihak manapun dalam pertukaran sampel virus H5N1. ''Asalkan kerja sama itu dalam kerangka yang baik dan adil, sehingga kita dapat manfaat dari kerja sama itu,'' katanya. Indonesia merupakan negara dengan kasus flu burung pada manusia terbanyak di dunia: 129 kasus dengan 105 kematian. Sementara, sumber di WHO Indonesia mengaku belum memperoleh pernyataan resmi dari WHO pusat soal pengiriman kembali sampel virus flu burung dari Indonesia itu. ''Direktur WHO Indonesia sedang di India,'' kata sumber tersebut.

www.news-independent.blogspot.com