Tuesday, February 5, 2008

1 FEBRUARI 2008

JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

MENGENDALIKAN HARGA PANGAN

(Rachmad Yuliadi Nasir, rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-
Harga bahan pangan belakangan ini mengalami kenaikan cukup tinggi terkait dengan produksi dalam negeri yang kurang memenuhi kebutuhan serta tingginya harga bahan pangan di pasar dunia. Kenaikan harga bahan pangan sangat memberatkan sebagian besar masyarakat, terutama yang pengeluarannya terbesar adalah untuk itu. Kenaikan harga pangan secara umum juga meningkatkan inflasi, karena bahan pangan mempunyai bobot tertinggi dalam perhitungan inflasi.
Dalam menanggapi kenaikan bahan pangan ini pada umumnya pemerintah menanggapinya dari kebijakan perdagangan yang bersifat jangka pendek. Ketika harga kedelai mengalami peningkatan yang tinggi, pemerintah segera membuat biaya impor untuk kedelai menjadi nol. Begitu pula ketika harga beras mengalami peningkatan yang tinggi, pemerintah membuka keran impor untuk menstabilkan harga. Bulog difungsikan kembali sebagai lembaga yang menstabilkan harga bahan pangan.
Kebijakan demikian dapat efektif dalam jangka pendek dan ketika harga bahan pangan di pasar dunia lebih rendah dari dalam negeri. Namun ketika harga pangan dunia juga mengalami peningkatan karena permintaan yang tinggi dari negara dengan penduduk besar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terutama Cina dan India, maka kebijakan menurunkan bea masuk untuk impor pangan menjadi tak terlalu efektif.
Selain permintaan bahan pangan yang meningkat dari Cina dan India, kenaikan harga pangan dunia juga didorong oleh penggunaan jagung untuk bahan baker nabati (biofuel) yang mengalihkan perhatian petani di AS dari memproduksi kedelai dan bahan pangan lainnnya. Ditambah lagi dengan masuknya lembaga keuangan (hedge funds) ke pasar akan datang (future market) bahan pangan membuat harganya terus meningkat.
Permasalahan pangan untuk negara berpenduduk besar seperti Indonesia tidaklah dapat diselesaikan terlalu mengandalkan pada kebijakan perdagangan. Pengaktifan peran Bulog penting untuk menstabilkan harga bahan pangan. Kritikan pada Bulog pada waktu menjelang krisis adalah dari dua sisi, dari kalangan ekonom pasar dan lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan IMF, yang menginginkan liberalisasi pasar bahan pangan, dan dari sisi penyalahgunaan Bulog untuk kepentingan pihak tertentu yang berkuasa.
Liberalisasi pasar bahan pangan yang diharapkan meningkatkan efisiensi membuat fluktuasi harga yang memberatkan masyarakat kebanyakan. Selain itu juga kepentingan petani sebagai produsen rentan terhadap fluktuasi harga. Impor bahan pangan pada umumnya dapat menstabilkan harga dalam jangka pendek namun akibatnya menekan petani produsen. Jika saja Bulog dapat berperan dalam menstabilkan harga dan mengurangi penyalahgunaan untuk kepentingan tertentu, maka kehadirannya menjadi penting.
Sisi produksi menjadi kelemahan utama dari permasalahan pangan. Sebagai negara penghasil komoditas pertanian semestinya Indonesia diuntungkan oleh kenaikan harga komoditas tersebut belakangan ini. Namun insentif bagi petani produksi jauh dari optimal. Tambahan lagi terjadi pengurangan lahan pertanian terutama di Jawa untuk kebutuhan perumahan dan industri. Penyediaan bibit unggul, kredit, dan penyuluhan jauh dari optimal.
Kecenderungan tingginya harga pangan di pasar dunia akan berjalan dalam waktu yang cukup panjang ke depan. Karena itu mengandalkan kebijakan perdagangan untuk menstabilkan harga bahan pangan bukanlah kebijakan strategis, tetapi bersifat temporer. Kebijakan strategis dalam jangka menengah adalah meningkatkan produksi bahan pangan terutama beras, jagung, dan kedelai. Tentu saja untuk bahan yang tidak dapat kita produksi di dalam negeri karena ketidak sesuai cuaca, seperti gandum, harus kita impor.
Kecenderungan kenaikan harga sebenarnya juga terjadi pada komoditas lain di pasar dunia karena alasan yang serupa yaitu peningkatan permintaan tidak dapat dipenuhi oleh pasokan. Aktifnya lembaga keuangan di pasar akan datang (future market) mendorong kenaikan harga komoditas semakin tinggi.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus lebih fokus dalam meningkatkan produksi pangan. Program ekstensifikasi, maupun intensifikasi melalui penyediaan bibit unggul, kredit, dan penyuluhan sangat penting untuk ditingkatkan.
Peran pemerintah penting, karena pada umumnya pengusaha lebih fokus pada sisi perdagangannya seperti usulan yang diajukan Kadin untuk membebaskan impor dan pengurangi PPN bahan pangan, dan kurang perhatian pada kegiatan produksi. Tentu saja peningkatan produksi tidak dapat mengandalkan kegiatan produksi petani berlahan kecil. Dorongan bagi perusahaan besar untuk aktif dalam kegiatan produksi pangan perlu juga diberikan.


JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

INDONESIA KRISIS PANGAN LAGI

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)

INDEPENDENT-Rasanya kita telah bosan mendiskusikan kenaikan harga pangan dari bulan ke bulan, dan dari tahun ke tahun. Di bulan ini saja setidaknya tiga jenis pangan mengalami kenaikan secara beruntun, mulai dari beras, kedele, sampai minyak goreng. Bulan ini dilalui bagai mimpi buruk oleh ibu rumah tangga yang kantongnya semakin kempis. Mimpi buruk terutama dialami oleh rakyat jelata yang paling miskin.
Selama tiga tahun terakhir, inflasi harga pangan kira-kira mencapai satu setengah kali lipat inflasi barang lainnya. Dalam satu tahun terakhir inflasi pangan tercatat kira-kira dua kali lipat inflasi umum. Karena itu tak heran, upaya pengentasan kemiskinan menjadi lebih sulit. Pasalnya, dua pertiga pengeluaran keluarga miskin dipakai untuk membeli bahan makanan. Saya agak heran kenapa pemerintah begitu optimistis dalam penurunan angka kemiskinan.
Lebih heran lagi, ada menteri yang mengatakan bahwa kalau ada masyarakat yang makan nasi aking janganlah terlalu dipermasalahkan karena itu bagian dari diversifikasi pangan. Sungguh tak ada empati. Apakah hati kita telah begitu berkarat sehingga makanan yang hanya layak untuk dimakan kucing merupakan santapan yang layak untuk saudara-saudara kita.
Ada juga pejabat negara yang menyatakan ketahanan pangan akan tercipta bila lidah orang Indonesia diubah, dari menyukai nasi ke pangan lainnya. Benar sih, tapi pengalaman kita menunjukan mengubah lidah lebih sulit dibanding meningkatkan produksi pangan. Dari waktu ke waktu justru lebih banyak orang Indonesia yang beralih ke beras. Konsumsi beras per kapita per tahun sekarang telah mencapai 120 kg. Mengubah kebiasaan dan pola makan adalah sesuatu yang amat sulit karena menyangkut persepsi, preferensi, dan budaya dari 225 juta orang. Kalaupun ada program diversifikasi pangan, pasti hasilnya tidak terukur karena menyangkut perilaku manusia.
Ada satu hal yang sangat mengerikan yang ditunjukkan para penguasa. Semakin seringnya kerawanan pangan dan kenaikan harga pangan dalam tiga tahun terakhir ini tak kunjung ada penyelesaian secara permanen. Dari waktu ke waktu kita berpolemik mengenai hal ini tak habis-habisnya. Solusi yang diambil pemerintah cenderung bersifat sementara dan gampangan. Dalam kasus kedele, misalkan, hanya sebatas penghapusan tarif impor. Dalam hal minyak goreng dan CPO, kebijakan yang dikeluarkan hanya berupa pengenaan tarif ekspor yang lebih tinggi.
Sadarkah kita bahwa masalah yang sedang kita hadapi adalah masalah jangka panjang? Ceritanya adalah sebagai berikut. Cina dan India dalam sepuluh tahun terakhir ini sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang begitu menakjubkan. Seiring dengan kenaikan pendapatan di kedua negara yang total penduduknya sekitar sepertiga penduduk bumi itu, maka permintaan akan energi dan pangan dunia menjadi terdongkrak dengan sangat drastis. Lahan untuk pangan di muka bumi relatif tidak beranjak, dan karenanya harga melesat naik.
Produksi minyak bumi dan gas tak bisa mengikuti kenaikan permintaan, dan akhirnya harga energi juga naik tajam. Tragisnya, negara-negara maju memutuskan untuk mengalihkan pemakaian energi berbahan bakar fosil ke bio-fuel. Minyak sawit dipakai untuk bio diesel. Jagung, tebu dan singkong digunakan untuk bio ethanol. Akibatnya pemenuhan kebutuhan energi harus berkompetisi dengan pemenuhan kebutuhan perut. Harga pangan menjadi sangat terkait dengan harga energi.
Kedele dan komoditi pangan lainnya menjadi ikut-ikutan. Meningkatnya pemakaian CPO untuk bio diesel mengakibatkan permintaan minyak kedele menjadi meningkat. Membaiknya harga jagung mengakibatkan lahan yang ditanami kedele dan pangan lainnya menjadi lebih sedikit. Akibatnya terjadilah ekses permintaan yang membuat harga melambung. Kelak membaiknya harga kedele, jagung dan tebu akan mengakibatkan tanaman padi semakin tersingkir. Pasokan beras di pasar dunia akan semakin susah didapatkan. Kerawanan pangan akan semakin nyata dan semakin sering terjadi.
Untuk sekedar mengingatkan saja, bahwa masalah yang kita hadapi adalah masalah fundamental jangka panjang. Solusinya tak cukup dengan menaikturunkan tarif perdagangan. Mulai saat ini kedaulatan pangan harus menjadi program prioritas pemerintah. Ketergantungan terhadap impor pangan harus secepatnya dikurangi. Kalau saat ini kita masih bisa melakukan impor, hal itu mungkin akan sulit untuk dilakukan dalam lima sampai sepuluh tahun mendatang. Setiap negara yang memiliki kelebihan pasokan pangan saat ini, akan sangat memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestiknya dalam jangka dekat.
Tentu meningkatkan produksi domestik tak bisa dilakukan dalam sekejap. Bibit unggul harus disediakan, lahan pertanian di luar Jawa harus dibuka lebih luas, dan petani di Jawa terpakasa harus ditransmigrasikan. Beberapa daerah kini sudah mengalami kekurangan pasokan tenaga kerja pertanian, namun karena ego kedaerahan pasca desentralisasi, kekurangan tenaga kerja menjadi tidak mudah ditutupi dengan mendatangkan tenaga kerja dari daerah lain.
Intinya, masalah yang kita hadapi dalam jangka panjang akan semakin pelik. Swasembada pangan tidak lebih mudah diwujudkan dibanding sewaktu jaman Orba dahulu. Sangat mengherankan bila pemerintah sekarang ini cenderung tenang-tenang saja. Berpikirlah dan bekerjalah untuk kepentingan bangsa jangka panjang. Lupakan terlebih dahulu pemilu 2009.


JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

KEKHAWATIRAN INFLASI DI INDONESIA

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-
Kekhawatiran terhadap inflasi yaitu kenaikan harga barang dan jasa, kembali mencuat ke permukaan. Yang menjadi perhatian bukan saja pemerintah, tetapi juga dunia usaha dan rumah tangga. Tahun 2007 ditutup dengan inflasi sebesar 6,59 perseb lebih tinggi dari perkiraan pemerintah dan banyak ekonom. Tahun 2008, pemerintah mengharapkan inflasi lebih rendah sebesar 5 +/- 1 persen, dan bahkan pada 2009 lebih rendah lagi 4,5 +/- 1 persen. Hampir dapat dipastikan harapan pemerintah ini tidak dapat terpenuhi. Kecenderungan harga bahan pangan cenderung meningkat baik di tingkat internasional dan lokal. Kenaikan harga bahan pangan adalah penyumbang utama inflasi. Tambahan lagi kenaikan harga minyak dan komoditas pertambangan menaikkan biaya produksi pada kegiatan industri pada umumnya yang juga memyumbangkan inflasi.
Dengan bencana banjir di banyak tempat akan menyulitkan distribusi bahan pangan dan merusak lahan tanaman pangan yang akibatnya meningkatkan harga bahan pangan. Kecenderungan di tingkat internasional permintaan terhadap bahan pangan yang meningkat karena perkembangan ekonomi Cina dan India mendorong peningkatan harga bahan pangan di pasar internasional, termasuk beras. Kenaikan harga minyak yang mendekati 100 dolar AS per barel meningkatkan biaya produksi, termasuk makanan dan minuman olahan, yang mempunyai sumbangan besar terhadap inflasi. Bahan makanan mempunyai bobot terbesar pada inflasi.
Banyak produsen berbagai jenis barang konsumsi juga mulai menyesuaikan harga jual produknya seiring dengan kenaikan biaya produksi karena kenaikan harga minyak. Kenaikan harga bahan baku karena meningkatnya harga komoditas pertambangan juga turut menaikkan biaya produksi. Kencederungan meningkatnya inflasi ini merupakan fenomena global dan juga lokal.
Dalam keadaan seperti ini sulit dimengerti mengapa pemerintah memperkirakan inflasi yang lebih rendah pada 2008. Secara politis tampaknya bermaksud untuk menjaga rasa optimisme terhadap perekonomian, namun hal ini dapat menyimpangkan perhatian. Sekalipun demikian pemerintah menyadari kecenderungan meningkatnya inflasi ini, antara lain dengan membentuk tim yang memonitor dan mengendalikan inflasi.
Karena penyumbang utama inflasi adalah bahan pangan, maka perhatian utama dari penentu kebijakan adalah mengupayakan agar bahan pangan tidak mengalami pelonjakan harga. Beras merupakan perhatian utama dalam kenaikan harga pangan ini. Biasanya jika harga beras meningkat, maka impor beras dibuka. Sekarang ini Bulog diperbolehkan impor beras tanpa harus menunggu harga beras di dalam negeri meningkat terlebih dahulu. Namun dengan kecenderungan harga beras di pasar internasional juga meningkat, maka pekerjaan untuk menjaga stabilitas harga beras menjadi relatif lebih sulit.
Penyesuaian harga jual barang-barang konsumsi karena kenaikan biaya produksi dan transportasi seiring dengan kenaikan harga minyak tidak dapat dicegah oleh kebijakan pemerintah, karena perusahaan yang bersangkutan berusaha mempertahankan marjin keuntungan. Biasanya produsen tidak secara seketika menaikkan harga produknya, tetapi secara bertahap agar tidak menurunkan pangsa pasarnya. Apalagi untuk produk yang dikonsumsi oleh masyarakat berpendapatan rendah. Kenaikan harga yang relatif kecil saja akan berpengaruh besar terhadap penjualan. Biasanya produsen melakukan pengurangan ukuran produk yang lebih kecil untuk mengurangi biaya.
Ironisnya kecenderungan inflasi di tingkat global ini tidak ditanggapi oleh bank sentral negara maju, terutama AS, dengan menaikkan suku bunganya yang merupakan kebijakan standar. Permasalahan akibat KPR berkualitas rendah (subprime mortgage) menyebabkan kerugian besar di lembaga keuangan di AS dan dalam hal tertentu juga di Eropa. Akibatnya bank sentral AS kemungkinan akan menurunkan suku bunga lagi untuk mengurangi beban kerugian lembaga keuangan tersebut dan membantu pencicil rumah untuk tidak kehilangan kepemilikannya. Akibatnya upaya untuk mengatasi inflasi di tingkat global menjadi terabaikan.
Kecenderungan meningkatnya inflasi global, dan melemahnya dolar seiring dengan meningkatnya harga minyak berimplikasi serius terhadap perekonomian Indonesia. Melemahnya dolar membuat inflasi dari luar (pass through inflation) sebenarnya menjadi relatif kecil. Namun kenaikan harga minyak seiring dengan melemahnya dolar menyebabkan tekanan pada APBN dan perekonomian secara keseluruhan.
Dengan keadaan seperti ini maka inflasi pada 2008 berada pada tingkatan sekitar tujuh persen. Apa yang perlu dilakukan lebih optimal adalah mengurangi beban masyarakat berpendapatan rendah terutama mereka yang masih berada di sekitar garis kemiskinan. Mereka paling sensitif terhadap kenaikan inflasi karena terkait dengan keterjangkauan kebutuhan pokok terutama pangan.
Bagi otoritas moneter yang tampaknya masih mungkin menurunkan suku bunga jika inflasi rendah, harus lebih serius mengantisipasi kecenderungan peningkatan inflasi ini, jangan sampai terlambat sehingga penyesuaian suku bunga harus dilakukan terlalu tinggi di kemudian hari. Dalam keadaan seperti ini maka sasaran pertumbuhan ekonomi juga harus lebih realistis. Pertumbuhan sekitar enam persen kemungkinan yang akan tercapai. Pertumbuhan yang lebih tinggi membutuhkan perbaikan lingkungan investasi yang signifikan.
Apa yang penting adalah upaya mengurangi pengangguran dan kemiskinan yang tidak harus menunggu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Mengefektifkan langkah-langkah kongkret di tingkat nasional dan daerah perlu dilakukan dalam aspek penciptaan kesempatan kerja, pendidikan, dan kesehatan. Dalam hal ini keadaannya masih mengkhawatirkan.


JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

INDONESIAN Government Absenteeism

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT- Seorang wanita miskin bersama anaknya harus menanggung derita akibat ditinggal suami. Perutnya keroncongan, menahan lapar selama berhari-hari. Dalam keputusasaan, dia mengeluarkan sumpah serapah bahwa penderitaannya merupakan akibat dari tidak pedulinya sang penguasa terhadap orang-orang seperti dirinya.
Kebetulan, Khalifah Umar yang waktu itu sedang berkuasa lewat dan mendengar umpatan tersebut. Maka dibawakanlah sekarung gandum buat keluarga tersebut. Hebatnya lagi sang khalifah memanggul sendiri karung tersebut. Ketika ajudannya menawarkan diri untuk memikul gandum tersebut, Umar malah berkata, ''Ini adalah tanggung jawabku, maukah engkau memikul tanggung jawabku kelak di akhirat nanti.''
Ada pelajaran menarik dari riwayat tersebut. Pertama, ketidakberdayaan kaum miskin memerlukan campur tangan pemerintah. Orang miskin merupakan urusan pemerintah dan mereka akan menyalahkan pemerintah manakala pemerintah tidak ''hadir''. Kedua, Umar merupakan contoh penguasa yang sangat bertanggung jawab. Ia tidak hanya campur tangan tetapi juga turun tangan langsung memperhatikan si miskin.
Dalam konteks modern, negara harus memiliki mekanisme, lembaga, dan instrumen untuk menangani kemiskinan dan hal-hal lain yang tidak bisa dipecahkan oleh masyarakat baik secara individu maupun kolektif. Artinya pemerintah perlu benar-benar ''hadir'' dan dirasakan kehadirannya di tengah masyarakat.
Faham sebaliknya justru menyarankan agar pemerintah berpangku tangan atau tak usah campur tangan terhadap masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat. Bahasa kerennya, let's the market works. Toh kalau pertumbuhan ekonomi membaik, masalah kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan ekonomi akan dengan sendirinya teratasi.
Kami menyebut faham seperti ini tidak sekadar liberalisme tapi lebih jauh lagi sebagai bentuk government absenteeism. Pemerintah seolah diharamkan untuk berperan dalam setiap bidang perekonomian. Kalau perlu, pemerintah cukup tidur saja; the market works when the government sleeps.
Kami dari Tim Indonesia Bangkit (TIB) menengarai bahwa penyakit absenteeism ini masih merupakan tema sentral dari kebijakan ekonomi pemerintah selama tahun 2007, seperti halnya tahun-tahun sebelumnya. Setidaknya, masyarakat belum merasakan kehadiran pemerintah secara nyata.
Dalam hal kemiskinan misalnya, pemerintah SBY-JK masih menjadi net creator. Tingkat kemiskinan sampai triwulan pertama 2007, masih lebih tinggi dibanding sewaktu pemerintahan Megawati. Mungkin di tahun 2008 akan turun sedikit. Tetapi, hampir tak ada langkah yang cukup masif untuk mewujudkan janji pengurangan kemiskinan seperti yang digembar-gemborkan sewaktu kampanye pilpres 2004 yang lalu.
Begitupun dengan masalah pengangguran yang cenderung sangat persisten. Program antipengangguran seperti Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), pembangunan infrastruktur, dan energi nabati seperti hangus ditelan api. Ada triple track strategy yang diusung, tapi implementasi dan kebijakan anggarannya sama sekali tidak mendukung.
Absenteeism tidak hanya tecermin dalam bidang kemiskinan dan pengangguran, tetapi juga di bidang perminyakan. Ketika harga minyak dunia melambung mendekati 100 dolar AS per barel, segera timbul niat pemerintah untuk membebankannya kepada masyarakat. Caranya adalah dengan kenaikan harga terselubung di mana masyarakat akan dipaksa menggunakan bensin yang beroktan tinggi dengan harga lebih mahal.
Pemerintah pun seakan tidak berdaya dalam mengatasi terus berlanjutnya penurunan produksi minyak mentah. Delapan tahun yang lalu, kita masih memproduksi 1,5 juta barel per hari. Sekarang tinggal 0,9 juta barel per hari. Anehnya, di tengah penurunan produksi justru ongkos yang dibebankan dalam kontrak production sharing terus menggelembung. Hasil audit BPK dan BPKP menunjukan potensi kerugian negara sebesar Rp 18 triliun dalam penggelembungan cost recovery. Dalam hal ini pun pemerintah seakan tertidur.
Yang paling mengherankan justru di bidang anggaran yang sepenuhnya berada di tangan pemerintah. Rendahnya penyerapan anggaran dalam tiga tahun terakhir ini tak kunjung bisa diatasi oleh pemerintah. Sampai akhir tahun 2007, sekitar 40 persen dari belanja modal gagal terserap. Padahal belanja ini sangat berperan dalam menstimulasi investasi swasta.
Belanja modal pemerintah bersifat komplementer terhadap belanja modal swasta. Karena itu tak heran laju investasi domestik semasa pemerintahan SBY-JK cenderung sangat rendah. Kalah jauh dibanding periode pemerintahan Megawati. Dengan kondisi tersebut di atas, tentunya rakyat akan bertanya di manakah pemerintah selama ini? Apakah kita masih memiliki pemerintah?

JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

Garuda GA-181 Mendarat Selamat di Bandara Soekarno-Hatta

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)

INDEPENDENT-Pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-181 dari Medan dengan tujuan Jakarta akhirnya mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, setelah dua kali gagal mendarat akibat cuaca buruk di Jakarta dan di daerah sekitar bandara.

Dari sejumlah penumpang pesawat tersebut, Jumat (1/2), menyebutkan pesawat Boeing 737-300 itu berangkat dari Bandara Polonia Medan pada pukul 06.30 WIB itu baru bisa mendarat di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 16.30 WIB atau sepuluh jam setelah berangkat dari Medan.

Namun karena kondisi cuaca tidak memungkinkan, pendaratan terpaksa dialihkan ke Bandara Sultan Mahmud Badaruddin Palembang, sekitar pukul 09.20 WIB.
Setelah istirahat dan mengisi bahan bakar di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin pesawat mencoba kembali ke Jakarta namun kembali gagal mendarat di Bandara Soekarno-Hatta karena bandara itu ditutup untuk penerbangan dan pesawat pun kembali ke Palembang.

Tapi di Palembang pesawat tidak bisa mendarat karena tempat parkir bandara sudah dipenuhi pesawat-pesawat yang penerbangannya juga dialihkan, sehingga pendaratan dialihkan lagi Bandara Dipati Amir di Pangkal Pinang.

Di Bandara Dipati Amir para penumpang terkesan ditelantarkan karena pihak Garuda Indonesia tidak memiliki perwakilan di daerah itu. Pesawat kemudian baru berangkat ke Jakarta sekitar pukul 15.45 WIB dan mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 16.30 WIB. "Tapi di sini kami seperti 'terdampar' karena tidak ada moda transportasi, baik taksi atau angkutan lain, yang berani membawa kami ke Jakarta karena banjir yang cukup tinggi di sekitar bandara dan juga di Jakarta," ujar Suchyar.

Jumlah penumpang pesawat Garuda Indonesia yang memiliki 110 "seat" itu sebanyak 88 orang ditambah dua orang crew kokpit dan lima crew cabin. Para penumpang mengaku kebingungan karena mereka tidak bisa keluar bandara akibat banjir yang menggenangi wilayah Banten dan juga Jakarta.

JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

Bandara Soekarno-Hatta Tutup 22 Pesawat "Divert" ke SMB II

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)

INDEPENDENT-Akibat penutupan bandar udara (bandara) internasional Soekarno - Hatta sejak Jum'at (1/2) pagi, sejumlah pesawat dengan tujuan Jakarta dialihkan (divert)pendaratannya ke bandara internasional Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang.

Sejak pukul 09.00 WIB sampai 15.30 WIB sebanyak 22 pesawat komersil berbagai jenis divert ke bandara SMB II. Akibatnya terjadi penumpukan pesawat yang membuat petugas PT Angkasa Pura (AP) II cabang Palembang bekerja ekstra keras untuk memarkir seluruh pesawat yang divert dan ditambah empat unit pesawat delay dengan tujuan Jakarta.

Akibat kapasitas parkir yang rendah dari bandara SMB II, sebanyak 26 pesawat ada yang terpaksa parkir di beberapa taxi way (jalur samping runway), dan di bekas landasan pacu lama yang tidak terpakai. Kapasitas parkir bandara SMB II hanya mampu menampung delapan pesawat berbadan lebar.

Menurut General Manager PT AP II babang Palembang Resmi Wandi, dengan kapasitas parkir yang sedikit pesawat yang datang terpaksa parkir di tempat lain yang bisa untuk pesawat seperti taxi way "Jika sudah mendarat 26 pesawat maka kita akan melaporkan ke Jakarta bahwa bandara SMB II tidak dapat lagi menerima pengalihan pesawat," ujarnya.

Sementara jumlah enumpang yang harus menunggu di ruang tunggu bandara SMB II menurut Resmi Wandi, dari 26 unit pesaat diperkirakan mencapai 2.500 penumpang. "Karena keterbatasan daya tampung dan kesibukan petugas dari bandara tidak semua penumpang yang diturunkan dari pesawat. Terutama bagi pesawat yang parkir jauh dari terminal penumpang."

Diantara pesawat yang divert ke bandara SMB II adalah maskapai Garuda Indonesia 8 pesawat, Adam Air 3 pesawat, Lion Air 3 pesawat, Batavia Air 2 pesawat, Merpati Nusantara satu pesawat, Sriwijaya Air satu pesawat, Air Asia satu pesawat, Wing Air satu pesawat dan Air Fast satu pesawat serta empat pesawat yang harus delay dengan tujuan Jakarta adalah Garuda Indonesia, Batavia Air, Lion Air dan Air Asia.

Sambil menunggu pesawat dilterbangkan kembali menuju Jakarta ribuan penumpang yang berasal dari Surabaya, Yogya, Solo, Kupang, Makassar, Ambon dan Denpasar terpaksa menunggu di ruang tunggu keberangkatan Bandara SMB II. Akibatnya ruang tunggu bandara penuh sesak penumpang. Karena tidak mendapat tempat duduk sebagian penumpang terpaksa lesehan di lantai.

Akibat menunggu terlalu lama, ribuan penumpang yang membeludak di ruang tunggu mulai histeris dan memprotes lambannya kinerja petugas bandara. Ruang tunggu tiba-tiba pengap dengan asap rokok, membuat penumpang merasa sesak. Para penumpang juga mengeluhkan kesulitan memperoleh makanan karena sedikitnya kantin yang tersedia.

JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

JAKARTA BANJIR, JADWAL PENERBANGAN KACAU

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)

INDEPENDENT-Banjir yang melanda Jakarta yang berimbas pada penutupan Bandara Soekarno-Hatta ternyata juga berdampak pada penerbangan pesawat dari Bandaran Adi Sutjipto Yogyakarta menuju Jakarta.

Bahkan akibat kejadian itu seluruh penerbangan jurusan Yogyakarta-Jakarta atau sebaliknya terganggu. Hingga pukul 13.30 WIB Jum;at, baru ada satu pesawat jurusan Jakarta yang lepas landas dari Bandaran Adi Sutjipto Yogyakarta. Namun pesawat tersebut terpaksa harus dialihkan pendaratannya di Palembang di bukan di Soekarno Hatta.

''Pesawat Adam KI 121 jurusan Yogyakarta-Jakarta terbang sekitar pukul 18.15 dan mendapat kabar Bandara ditutup setelah di udara akhirnya pesawat itu harus divert ke Palembang,'' kata Assisten Manager Pelayanan PT Angkasa Pura I Yogyakarta, Hanad Prayitno.

Sementara itu dua pesawat lain yakni Wing Air yang seharusnya berangkat pukul 08.30 dan Batavia Air yang jadwal keberangkatannya pukul 10.30 hingga pukul 13.30 belum bisa diberangkatkan. Sedangkan tiga pesawat dari Jakarta yakni Mandala 530 yang seharusnya mendarat pukul 10.00, Garuda206 yang harus mendarat pukul 10.10 dan Adam 122 yang jadwal mendaratnya pukul 11.00 juga belum bisa sampai di Yogyakarta.

''Dengan mundurnya kedatangan pesawat otomatis jadwal keberangaktan yang lain juga mundur karena penerbangan selanjutnya menggunakan pesawat yang datang dari Jakarta,'' terangnya.

Walaupun begitu, pihaknya kata Hanad belum bisa memastikan sampai kapan kondisi ini terjadi. Yang jelas, akibat penundaan jadwal ini terjadi penumpukan penumpang di Bandara Adisucipto. Hal ini wajar karena penerbangan Yogyakarta-Jakarta merupakan penerbangan padat.

Diakui Hanad, setiap hari rata-rata 2000 penumpang dari Yogya ke Jakarta di bandara tersebut. Karenanya wajar jika terjadi penumpukan ribuan penumpang di Bandara Adi Sutjipto.

JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

INFLASI JANUARI 2008 SEBESAR 1,77 PERSEN

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)

INDEPENDENT-Inflasi Januari 2008 yang mencapai 1,77 persen tergolong paling tinggi selama empat tahun terakhir yang terutama didorong oleh kenaikan harga di kelompok bahan makanan yaitu 2,77 persen dan kelompok sandang sebesar 2,31 persen serta di kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 2,02 persen.

"Memang kalau kita lihat beberapa waktu belakangan, khususnya untuk Januari, inflasi selalu di atas satu karena faktor yang mempengaruhi tidak hanya faktor internal seperti distribusi tapi juga faktor global seperti harga pangan internasional seperti kedelai dan beras yang tinggi," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa, Badan Pusat Statistik (BPS), Ali Rosidi, di Jakarta, Jumat (1/2).

Selama lima tahun terakhir, inflasi bulan Januari selalu di atas satu persen. Pada Januari 2005 inflasinya sebesar 1,43 persen, Januari 2006 sebesar 1,36 persen, Januari 2007 sebesar 1,04 persen dan Januari 2008 sebesar 1,77 persen.

"Yang paling tinggi pada Januari 2002 yaitu 1,99 persen, saya tidak ingat ada apa tahun itu, lalu turun, dan lima tahun terakhir 2005-2008 setiap Januari inflasi selalu di atas satu," tambahnya.

Kelompok bahan makanan menyumbang 0,74 persen dari inflasi Januari 2008. Beberapa komoditas yang dominan memberikan sumbangan inflasi, antara lain beras 0,27 persen, ikan segar 0,16 persen, tempe 0,16 persen, tahu mentah 0,13 persen, minyak goreng 0,07 persen, telur ayam ras 0,06 persen, daging ayam ras, susu bubuk, mie instan, tepung terigu dan daging sapi masing-masing 0,01 persen.

"Kedelai memang punya pengaruh kalau dilihat di sentra produksi kedelai seperti Jawa Timur seperti kota Malang dan Solo di Jawa Tengah, inflasi Januari 2007 lumayan tinggi hanya karena faktor kedelai. Untuk Januari 2008, harga tempe ikut naik, sumbangannya pada inflasi 0,29 persen dari tempe dan tahu,"jelasnya.

Kelompok makanan jadi menyumbang 0,34 persen dari total inflasi Januari 2008 yang didominasi oleh nasi beserta lauk (rames) dan mie masing-masing 0,09, kue kering berminyak 0,03 persen, roti manis, roti tawar, dan rokok kretek filter masing-masing 0,02 persen, donat, gado-gado, kue basah, martabak, gula pasir dan rokok kretek masing-masing 0,01 persen.

Dari 45 kota yang diamati, seluruhnya mengalami inflasi dan yang tertinggi terjadi di Palangkaraya sebesar 5,02 persen serta yang terendah di Manado sebesar 0.1 persen.

JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

Genangan Air di Jakarta Mencapai 140 Titik

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)

INDEPENDENT-Jumlah daerah genangan air di Jakarta mencapai 140 titik dengan ketinggian antara 0,5 centimeter sampai satu meter, setelah wilayah Jakarta dan sekitarnya sejak Kamis (31/1) malam hingga Jumat siang diguyur hujan.

Genangan air di Jakarta Pusat, antara lain di Jalan Letjen Suprapto dengan ketinggian 30 centimeter; Jalan Menteng Raya 10 sampai 15 centimeter; Jalan Bungur Besar Raya 30-50 centimeter; dan sekitar istana dengan ketinggian antara 0-5 centimeter, demikian data Pusat Pengendalian Krisis Pemda DKI Jakarta .

Kemudian di Jalan Sumur Batu dengan ketinggian 40 centimeter, dan Jalan Bungur Besar Raya dengan ketinggian antara 30 sampai 50 centimeter.

Jakarta Utara, di Jalan Pademangan I, II, III dengan ketinggian antara 25-30 centimeter; Jalan Kalimati 35 centimeter, Jalan Ampera 40 centimeter; Jalan Gunung Sahari 15-30 centimeter; dan Jalan Pademangan 10-15 centimeter.

Selain itu, di Jalan Yos Sudarso dengan ketinggian sekitar 40 centimeter; Jalan Perintis Kemerdekaan 35 centimeter; Jalan Pulo Galang 40 centimeter; dan Jalan Mengkudu 20 centimeter.

Jakarta Barat, Jalan Mawardi 10-40 centimeter; Jalan Makalawe 10-40 centimeter; Jalan Arjuna Selatan 20 centimeter; Jalan Arjuna Utara 20 centimeter; Jalan Tunjung Raya 10-40 centimeter; dan Jalan Daan Mogot 5 sampai 30 centimeter.

Jakarta Selatan, Jalan Hang Lekiu 20 centimeter, dan Jakarta Timur di wilayah Rambutan, yakni RW 02, RW 03, dan RW 05 dengan ketinggian antara 10 centimeter sampai 20 centimeter.

"Data tersebut berasal laporan dari pemerintah daerah setempat sampai pukul 12.00 WIB," kata salah seorang petugas Crisis Center Pemprov DKI Jakarta, Dwi.


JAKARTA 1 FEBRUARI 2008

BANJIR HAMPIR DI SELURUH JAKARTA

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)

INDEPENDENT-Jumat pagi, hujan mulai mengguyur kota Jakarta sejak jam 01.00 WIB hingga subuh. Setelah reda seberapa saat, hujan mulai turun lagi dari jam 06.00 WIB hingga sore hari, mengakibatkan beberapa ruas jalan tergenang air menjadi kolam raksasa, tidak terkecuali di bundara Hotel Indonesia, sepanjang Sudirman-Thamrin. Akses ke bandara Soekarno Hatta juga terputus, banyak penerbangan yang tertunda dan tidak bisa berangkat karena tidak ada calon penumpang. Mobil Presiden pun tidak kuasa melawan banjir, sehingga berganti mobil di kawasan Bundaran Hotel Indonesia untuk menuju Istana Negara.


news

kawasan Istana Negara


news

Istana berbasahan dengan air


news

kawasan Sudirman penuh Air


news

kawasan sudirman depan Sarinah


news

kawasan Sudirman depan Sarinah


news

kawasan sudirman depan Sarinah


BANJIR GENANGI THAMRIN, PRESIDEN PINDAH MOBIL


news

Bundaran Hotel Indonesia

news

Bundaran Bank Indonesia depan Indosat

news

sudirman depan Kedubes Jepang

news

Sudirman depan Kedubes Jepang


Hampir seluruh warga Jakarta, tak terkecuali Presiden terkena imbas banjir. Saat melintas Jalan Thamrin menuju Istana Kepresidenan, ganti mobil dan menerobos genangan air yang cukup tinggi.

Hujan deras yang mengguyur Jakarta menyebabkan Jl MH Thamrin banjir. Akibatnya, kendaraan yang ditumpangi Presiden tak berani menerobos dan harus berganti kendaraan dengan mobil yang lebih tinggi.



Jalan sabang langganan Banjir


Bunderan Bank Indonesia


Mobil terendam di jalan sabang


samping Bank Indonesia juga Banjir



WASSALAM

INDEPENDENT
RACHMAD YULIADI NASIR
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot
www.news-independent.blogspot.com