Tuesday, February 26, 2008

25 FEBRUARI 2008

JAKARTA 25 FEBRUARI 2008

Menpera: Akuisisi BTN oleh BRI Bukan Solusi

(RACHMAD YULIADI NASIR, rbacakoran at yahoo dot com)
INDEPENDENT-
Menteri Negara Perumahan Rakyat, M Yusuf Asy'ari, mengingatkan, wacana untuk mengambil alih BTN ke BRI bukan solusi terbaik mengingat dari sisi kinerja, BTN memiliki kelebihan ketimbang BRI.

"Kalau saya lebih baik pemerintah memberikan izin BTN melepas saham (IPO) pada tahun 2008 daripada diambilalih (akuisisi)," kata Menpera dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR-RI, Senin (25/2).

Menurut Menpera, dalam menyalurkan kredit, misalnya, BTN hanya meminta marjin 4 persen, sedangkan BRI minta 7 persen. "Seandainya BTN jadi diambil alih, apakah nantinya tidak akan mengalami kesulitan," ujarnya.

Apabila tujuan dari akuisisi itu untuk mendapatkan dana murah, kelihatannya tidak mungkin dengan kinerja BRI saat ini. Usulannya, BTN tetap dipertahankan sebagai bank yang membiayai perumahan, sementara untuk mendapatkan dana murah dapat diperoleh dari berbagai sumber yang digabung dalam satu pendanaan.

"Sebagai contoh, 40 persen dana Bapertarum ada ditempatkan di rekening Departemen Keuangan, kemudian dana-dana Jamsostek yang bersumber dari iuran dari pekerja serta pemberi kerja. Kalau dana-dana itu digabung serta ditempatkan ke dalam BTN akan menjadi sumber dana murah untuk rumah," ujarnya.

Lebih jauh anggota Komisi V DPR-RI, Malkan Amin mengatakan, sebenarnya untuk dana murah Komisi V sudah memberikan kemudahan kepada pemerintah untuk mengalokasikan dana subsidi selisih bunga Kredit Pemilikan Rumah setiap tahunnya.

"Bahkan tahun ini pemerintah minta Rp800 miliar kami kabulkan, jumlah itu sudah lebih tinggi dibandingkan tahun 2007," ujarnya.

Sementara Sofyan Djalil justru berpendapat sebaliknya, BTN tetap akan sulit mendapatkan dana murah sepanjang mengandalkan sumber pendapatan dari obligasi.

Obligasi yang diterbitkan pasti merujuk kepada Surat Utang Negara (SUN) sebesar 10,2 persen ditambah premi 0,75 - 1,2 persen dan biaya (overhead cost) 0,3 persen. Maka diperoleh 11 sampai 11,5 persen sebagai cost of fund.

Sementara itu, Enggar mengatakan, sebenarnya tingginya cost of fund bukan semata-mata karena sumber dana dari obligasi, akan tetapi kebijakan pemerintah yang tidak tegas dalam sekuritisasi aset KPR juga menjadi salah satu penyebab.

Sebenarnya keberadaan PT Sarana Multigriya Finansial (BUMN) menjadi satu-satunya alternatif mengatasi persoalan tersebut. Akan tetapi karena Meneg BUMN tidak tegas, PT SMF itu tidak juga menjalankan tugasnya, katanya.

Deputi Gubernur BI Siti Fadjrijah juga mengungkapkan hal yang sama akan tetapi selama ini PT SMF tidak dapat beroperasi karena masih ada persoalan pajak ganda.
Sehingga kalaupun disekuritisasi aset KPR BTN nantinya di pasar sekunder tidak ada yang membeli karena tidak adanya insentif pajak, ujarnya.

www.news-independent.blogspot.com