Tuesday, January 22, 2008

JANGAN LAGI PANGGIL INDON BAGI KAMI

JAKARTA 22 JANUARI 2008

Jangan lagi Panggil Indon bagi KAMI

Indon. Kata yang dipopulerkan media massa Malaysia ini boleh jadi merupakan kata yang sial. Kata ini membuat kesal orang Indonesia yang mendengarnya, tapi juga tak diberi ruang untuk masuk perbendaharaan bahasa oleh lembaga bahasa di sana. Maklum, kata yang semula ditujukan untuk menyingkat itu telah mengalami perubahan makna menjadi sebuah kata yang dianggap melecehkan martabat.

Di dunia maya, reaksi keras penggunaan kata Indon itu mudah ditemui, terutama di sejumlah blog. Umpatan balik yang umumnya digunakan para blogger adalah 'malingsia' (bahasa Sunda, yang artinya kamu pencuri). Kata yang kebetulan bersesuaian dengan panasnya isu pencaplokan seni-budaya Indonesia yang diklaim sebagai milik Malaysia, lalu dipasarkan untuk pariwisata, seperti lagu rasa sayange dan reog Ponorogo.

Semakin menggumpalnya reaksi atas penggunaan kata Indon, membuat kian banyak kalangan di Malaysia yang menyerukan penghentian penggunaannya. Salah satunya dari Wakil Ketua Pemuda United Malays National Organization (UMNO), Khairy Jamaludin. Gara-gara kata Indon, Khairy mengaku sering mendapat protes dari pemimpin politik dan pemimpin pemuda dari Indonesia. Sebab, kata itu dinilai merendahkan dan mempermalukan.

''Jika kita tahu panggilan ini menyakiti hati mereka, saya percaya kita harus berhenti menggunakannya,'' katanya pada konferensi pers usai penyelenggaraan Dialog Malindo 2008 di Shah Alam, Malaysia, awal Januari lalu. ''Saya berharap media massa yang menjadi saluran untuk memopulerkan panggilan itu dapat memenuhi permintaan rakyat Indonesia,'' katanya.

Wakil Ketua Umum Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Hamka M Noor, yang hadir dalam dialog itu, mengatakan panggilan Indon terdengar sensitif di telinga rakyat Indonesia, terutama pemuda. Sebab, kata itu dinilai meremehkan derajat sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat. Apalagi, panggilan seperti itu tidak pernah dikenal di Indonesia. Hamka meminta rakyat Malaysia berhenti memanggil Indon.

''Panggil Indonesia,'' pintanya. Masalah panggilan Indon itu, Oktober 2007 lalu sempat ramai dibahas di parlemen Malaysia. Bahkan, beberapa anggota parlemen sampai mendesak Pemerintah Malaysia mengalokasikan anggaran khusus untuk menjelaskan penggunaan kata Indon itu kepada rakyat Indonesia: Bahwa panggilan Indon tak dimaksudkan untuk merendahkan dan mempermalukan warga Indonesia.

''Saya diinformasikan bahwa rakyat Indonesia, termasuk pemimpin dan menterinya, sangat sensitif dan tidak suka dipanggil Indon,'' kata anggota parlemen, Jimmy Donald. Padahal, tambah Jimmy, ''Rakyat Malaysia tidak berniat merendahkan martabat rakyat Indonesia. Rakyat Malaysia tidak prejudice kepada rakyat Indonesia.''

Gara-gara panggilan Indon dan berbagai masalah yang terjadi antara kedua negara, Jimmy mengatakan orang Indonesia saat ini menjadi prejudice kepada Malaysia. ''Malaysia dianggap sombong.''

Pakar bahasa Melayu, Prof Emeritus Dr Nik Safiah Karim, mengatakan kata Indon tidak masuk dalam perbendaharaan kata-kata di sana. Indon hanya bisa dianggap sebagai singkatan Indonesia. ''Memang tidak ada masalah menggunakannya. Tapi, lebih baik diganti menjadi warga Indonesia, agar tidak menyinggung perasaan orang lain,'' katanya.

Seperti nigger
Anggota parlemen maupun berbagai kalangan di Malaysia boleh saja berdalih tak ada maksud merendahkan di balik penggunaan kata Indon. Namun, sesungguhnya kata Indon tidak lagi sekadar singkatan. Tidak lagi netral makna seperti yang dipaparkan di wikipedia.com. Ensiklopedia online itu menyatakan Indon adalah sebutan untuk Indonesia seperti halnya Brit kepada Britania Raya.

Kaum cendekiawan dan pakar bahasa Melayu, tidak menyetujui penggunaan kata Indon untuk memanggil warga Indonesia, karena kata itu telah mengalami perubahan makna dan dibebani stigma negatif. Itulah sebabnya, sampai saat ini, Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia, enggan mengakui keberadaan kata Indon dalam perbendaharaan bahasa.

Di media-media Malaysia, kata Indon memang kerap muncul dengan konotasi negatif. Misalnya sebutan 'mafia Indon' atau 'PRT Indon'. Karena itu, secara jujur, Ketua Pengarah DBP, Datuk Dr Firdaus Abdullah, mengatakan, ''Sejarah di negara luar dan negara kita sendiri menunjukkan bahwa panggilan itu adalah panggilan yang menghina.'' Bahkan, dia menganalogikannya seperti panggilan nigger yang digunakan warga kulit putih kepada warga kulit hitam Amerika.

''Jadi, saya mendukung penggunaan perkataan Indon segera dihapus. Karena tidak mendapat pengakuan DBP, dan menghina warga Indonesia yang sudah lama menjadi rekan negara kita,'' kata Firdaus. Firdaus mengatakan amat sayang bila hubungan kedua negara sesama rumpun Melayu itu menjadi keruh akibat sesuatu yang remeh. Karena itu, dia meminta Kementerian Penerangan Malaysia memainkan peranannya agar kata Indon tak lagi digunakan di media massa.

Harapan senada disampaikan Khairy. Daripada mengurusi perselisihan karena hal-hal kecil, Khairy menilai kedua bangsa serumpun yang memiliki banyak persamaan, bahkan ibarat kakak-beradik itu, sebaiknya fokus pada dua tantangan utama. Pertama, Kelangsungan ekonomi untuk menyaingi Cina, India, dan Vietnam. Kedua, memperbaiki citra Islam di pentas global.


WASSALAM


Rachmad
Independent
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com
www.news-independent.blogspot.com