Sunday, January 27, 2008

POTRET LINGKUNGAN DALAM FESTIFAL FILM

JAKARTA 25 JANUARI 2008

Potret Lingkungan dalam Festival Film

South to South Film Festival (StoS) kembali lagi hadir di Indonesia. Festival bertaraf internasional khusus lingkungan hidup ini akan berlangsung selama tiga hari, yakni 25-27 Januari 2008, di Goethe Institute, Jakarta. Dalam gelaran kali ini akan tayang 16 film yang berasal dari 11 negara.

''Lewat festival film tentang lingkungan ini kami ingin mengajak publik memahami masalah, lebih kritis, dan bersolidaritas dengan warga lain di kawasan eksplorasi sumber daya alam demi kehidupan yang lebih adil,'' kata Chalid Muhammad, direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta, Rabu (23/1).

Pada StoS 2008, pihak penyelenggara mengusung tema Vote for Live atau Memilih untuk Hidup. Chalid berharap dengan adanya festival ini dapat menggugah sikap kritis publik terhadap berbagai kasus kerusakan lingkungan hidup sekaligus menyampaikan suara masyarakat yang terpinggirkan. ''Selama ini masyarakat Indonesia masih rendah dalam partisipasi publik untuk mengeritisi isu-isu lingkungan. Maka dengan adanya festival film tentang lingkungan ini kami ingin mengajak publik bisa lebih turut ambil bagian lagi,'' katanya.

Cristian Purba dari Forest Watch Indonesia, menambahkan dalam festival ini turut pula dihadirkan sejumlah film yang bercerita tentang perubahan iklim dan eksploitasi hutan. ''Hal ini penting, karena kondisi hutan alam kita kritis, ancaman pertambangan hutan lindung, dan juga ekspansi perkebunan skala besar.''

Pergelaran StoS akan dibuka dengan pemutaran film Sipakapa Is Not for Sale (Sipakapa No Sevende), sebuah film yang bercerita tentang perjuangan masyarakat Sipakapa di Guatemala, untuk menentukan masa depan kotanya; menerima atau menolak operasi tambang di wilayahnya tersebut lewat referendum. Film itu sebelumnya masuk dalam beberapa festival, seperti di Festival Film Lingkungan Hidup (Environmental Film Festival) di Toronto pada 2006 dan The Native Spirit Festival yang digelar di London pada 2007.

Pada hari kedua, Sabtu (26/1), festival film akan menampilkan Penusa Tana dan Mahua Memoirs. Hari berikutnya diputar seri film pendek bertema Forest Series, yaitu Chained to Charcoal, Forest Fortune, dan Wildlife`s Worry. Pemutaran film juga diisi dengan seri film pendek bertema Water Series, yaitu Fish of Fees, Niger, A Life Line, dan Teluk Jakarta Under Pressure.

Selanjutnya pada hari terakhir, Ahad (27/1), akan hadir film-film yang berkaitan dengan perubahan iklim, seperti Laut yang Tenggelam dan Suit Utik (Indonesia), The Pampas Unknown Desert (Brazil), Jonathan Brown and the Lost Penguin (Australia), The Fridge (Republik Cheska), dan The Last Boy Riding (Filipina).

Selain memutar film, kegiatan festival juga akan diselingi bincang-bincang bertema Vote for Life dan We are Connected berturut-turut pada hari kedua dan ketiga festival berlangsung. Kegiatan ini akan dipadukan dengan musik dari Cozy Street Corner dan Seven Soul. Sebagai penutup, film Too Hot Not To Handle hasil besutan sineas Amerika Serikat akan ditampilkan dalam festival ini. Sepanjang festival berlangsung juga digelar pameran foto bertajuk We are Connected.

Roadshow 11 Kota
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Siti Maemunah, mengungkapkan bahwa untuk membuat gaung festival ini semakin besar pihaknya berencana menggelar pemutaran film bertema lingkungan di 11 kota, di antaranya Makassar dan Jayapura.

Pemutaran film itu diharapkan dapat menggugah publik untuk lebih peduli pada isu-isu lingkungan. ''Tontonan masyarakat di televisi masih didominasi tayangan sinetron yang hanya mementingkan pemeringkatan dan film-film tentang percintaan, hantu, dan mistik saja. Padahal kalau kita tidak kritis terhadap isu lingkungan, kita akan terbodohi dengan tayangan yang itu-itu saja,'' katanya.

WASSALAM

Rachmad
Independent
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com
www.news-independent.blogspot.com